Jumat, 30 Desember 2011

nikah ???!!!


Antara memilih dan dipilih. Begitulah sesungguhnya hidup ini. Hal ini dikarenakan kehidupan manusia di dunia ini sering diwarnai sebuah proses pilihan hidup yang saling susul menyusul, yang selalu hadir dalam dua buah kondisi : Memilih ataukah dipilih! Dan salah satu kenyataan hidup yang tak dapat kita hindari adalah keniscayaan untuk memilih calon suami atau istri sebagai pendamping hidupnya di dunia bahkan hingga di akhirat.

Masalah Pertama Yang Harus Diperhatikan.
Dalam membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, pemilihan pasangan hidup merupakan pintu gerbang pertama yang harus dilewati secara benar sebelum masuk kepada lembaga keluarga Islami yang sesungguhnya, sehingga perjalanan selanjutnya menjadi lebih mudah dan indah untuk dilalui.
Karena itu ajaran Islam sangat menekankan system pemilihan pasangan hidup yang berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Tujuannya agar lelaki yang shalih akan mendapatkan wanita yang shalihah, demikian pula sebaliknya. Allah berfirman:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) (QS. An Nuur: 26).

Mengapa Kita Harus Selektif?
Kecermatan memilih pasangan hidup sangat menentukan keberhasilan perjalanan seorang hamba di dunia dan akhirat. Apalagi mengingat pernikahan merupakan bentuk penyatuan dari dua lawan jenis yang berbeda dalam banyak hal, keduanya tentu memiliki kebaikan dan keburukan yang tingkatannya juga berbeda satu sama lain.
Adalah menjadi suatu hak dan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah untuk mencari pendamping yang benar-benar akan membuka pintu kebaikan buat dirinya dan mengundang keridhaan dari Rabb-nya dan hal ini hanya dapat dicapai bila diawali proses pemilihan calon pasangan hidup yang selektif, yang dilandasi oleh semangat Islami sebagai dasar terjadinya suatu pernikahan. Ingat! Setelah pernikahan, tidak ada pilihan lagi buat kita, kecuali dua hal: mendapatkan ketenangan yang membahagiakan rumah tangga atau memperoleh kesengsaraan yang membinasakan. Na'udzubillahi min dzaalik!

Akibat Salah Memilih
Akibat salah dalam memilih pasangan hidup, banyak pasangan suami istri yang menghadapi kesulitan dan hidupnya malah tidak bahagia, bahkan perceraian dan gonta ganti pasangan menjadi sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Dewasa ini, begitu banyak kasus pertikaian di dalam sebuah keluarga, dari sekedar konflik yang berbentuk pertengkaran mulut sampai dengan penganiayaan fisik bahkan pembunuhan, yang disebabkan oleh kesalahan langkah awal dalam membentuk rumah tangga.
Iklim pergaulan di masyarakat kita yang memang cenderung permisif dan belum Islami, merupakan penyebab utama yang melahirkan pernikahan sebatas dorongan nafsu semata. Tolak ukur pencarian pasangan hidup jarang yang berorientasi pada nilai-nilai agama. Melainkan seringkali hanya sebatas keindahan fisik, melimpahnya materi dan mulianya status di masyarakat, atau bahkan hanya karena sudah terlanjur cinta yang telah menyebabkan mata hati menjadi buta terhadap kebaikan dan keburukan orang yang dicinta.
Apabila pernikahan terjadi hanya lantaran dorongan nafsu semacam itu, maka wajarlah jika banyak pasangan yang bertikai mereasa kesulitan menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka secara Islami, lantaran proses pernikahan mereka terjadi begitu saja secara naluriah, tanpa ada landasan nilai-nilai ke-Islaman yang mengawali. Lalu bagaimana mungkin akan kembali kepada Qur'an dan Sunnah, sedangkan mereka dahulunya tidak berangkat dari keduanya? Maka memilih pasangan hidup atas dasar nilai-nilai Islam adalah sikap yang penting, dan berhati-hati dalam memilih pasangan hidup menjadi suatu keharusan bagi kita, camkanlah nasehat Luqman Al Hakim berikut ini:
;Wahai anakku, takutlah terhadap wanita jahat karena dia membuat engkau beruban sebelum masanya. Dan takutlah wanita yang tidak baik karena mereka mengajak kamu kepada yang tidak baik, dan hendaklah kamu berhati-hati mencari yang baik dari mereka.
(Begitu pula untuk Wanita berhati-hatilah dalam mencari pasangan)

Siapa Yang Harus Kita Pilih?
Islam telah mengajarkan dengan cermat atas dasar apa kita harus memilih pasangan hidup kita:
;Dinikahi wanita atas dasar empat perkara: karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan k arena agamanya. Barangsiapa yang memilih agamanya, maka beruntunglah ia.†(HR. al Bukhari dan Muslim)
Maka jelaslah bagi kita bahwa ada empat dasar dalam menentukan siapa yang layak untuk kita pilih menjadi pasangan hidup kita, yakhi kekayaan, keelokan, keturunan serta akhlak dan agama. Dan di antara semuanya, maka akhlak dan agama menjadi jaminan kedamaian dan kebahagiaan, sebaliknya pengabaian bahkan pengingkaran terhadap masalah ini akan menyebabkan fitnah dan kerusakan yang besar bagi para pelakunya. Alangkah indahnya memang bila kesemuanya terkumpul pada diri seseorang hamba Allah.

Pilih Yang Taqwa, Baru Yang Lain

Yang pertama adalah perihal kekayaan
Hal ini memang utama, bahkan Rasullah saw adalah seorang dermawan yang paling banyak sedekahnya, tetapi pernikahan bukanlah sekedar transaksi perdagangan semata, bahkan Allah mengancam mereka yang menikah semata-mata karena mengharapkan kekayaan dengan kefakiran:
Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kefakiran.(HR. Ibnu Hibban).

Yang kedua adalah keelokan
Hal ini juga memang boleh-boleh saja dan menyukai keelokan memang fitrah manusia, bahkan Allah sendiri indah dan menyukai keindahan, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kesenangan mata belaka. Sesungguhnya keelokan merupakan karunia Allah kepada hamba-Nya, yang kelak pasti akan diambil-Nya secara perlahan dengan bertambahnya usia sang hamba. Karena memang tidak ada keelokan yang berkekalan di dunia yang fana ini.
Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan lenyap dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, sebab harta itu akan membuat dia sombong. Akan tetapi nikahilah mereka karena agamanya, sebab seorang budak wanita yang hitam dan beragama itu lebih utama.(HR. Ibnu Majah).

Dan ketiga adalah keturunan,
Demikian pula hal ini juga sesuatu yang utama, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kebanggaan silsilah yang justru bias membawa kepada penyakit ashobiyah. Bahkan Allah mengancam mereka yang menikahi seseorang hanya untuk mengejar keturunan, dengan memberikan kerendahan bukan kemuliaan.
Barangsiapa yang menikahi wanita karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kecuali kerendahan(HR. Ibnu Hibban)

Terakhir yang keempat adalah akhlak dan agama,
Inilah faktor yang paling utama, yang tidak boleh tidak, harus ada pada calon pasangan hidup kita. Semakin baik akhlak dan agama seseorang, maka seakan-akan semakin jelaslah kebahagiaan sebuah rumah tangga telah terbentang dihadapan kita. Akhlak dan agama disini bukanlah sebatas ilmu dan retorika atau banyaknya hapalan di kepala, melainkan mencakup ucapan dan perbuatan sebagai cerminan dari hati seseorang yang telah melekat dalam kepribadiannya, dan inilah TAQWA yang sebenarnya!.
Betapa beruntungnya menikah dengan hamba yang bertaqwa, karena ia pandai menghormati pasangan hidupnya dan sangat berhati-hati dari menzhaliminya, sebagaimana jawaban Hasan bin Ali ketika ada seseorang yang bertanya. Aku mempunyai anak gadis, menurutmu kepada siapa aku harus menikahkannya?Maka Hasan menjawab. Nikahkanlah ia dengan lelaki yang bertaqwa kepada Allah. Jika lelaki itu mencintainya, maka ia akan menghormatinya, dan jika marah maka ia tidak akan menzhaliminya.
Dan sebaliknya penolakan terhadap lelaki atau wanita yang bertaqwa, bagaikan menolak kebaikan dan menggantinya dengan kerusakan:
Simaklah kedua hadits berikut ini:
1. Jika datang seorang laki-laki kepadamu (untuk melamar), sedang kau tahu ia baik akhlak dan agamanya lalu kau tolak, maka jadilah fitnah buatmu dan kerusakan yang besar.(HR. Ibnu Majah)
2. Apabila telah datang kepadamu seorang wanita yang agama dan akhlaknya baik maka nikahilah dia. Jika engkau menikahi wanita bukan atas dasar agama dan akhlak, maka wanita itu akan menjadi fitnah dan menimbulkan kerusakan luas.(HR. At Tirmidzi).
Akhirnya pernikahan yang ideal sesungguhnya merupakan keseimbangan dari semua faktor tersebut, dengan akhlak dan agama sebagai parameter yang paling penting, karena itu dalam memilih pasangan hidup, jangan sampai niatan kita hanya sekedar mencari kecantikan atau keturunan atau harta saja dengan meninggalkan criteria taqwa, sehingga tidak ada keberkahan yang akan kita dapatkan dalam rumah tangga kita kelak.
 Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kafakiran. Barangsiapa yang mengawini wanita karena untuk memejamkan pandangannya, menjaga kemaluannya serta menjalin tali persaudaraan, niscaya Allah memberkahinya. (HR. Ibnu Hibban).

Mempersempit Pilihan Untuk Keutamaan
Tidak jarang seseorang dihadapkan pada sekian banyak pilihan pasangan hidup yang dari segi akhlak dan agama sama dan setaraf, apalagi masalah di dalam ketaqwaan seseorang memang sulit untuk dideteksi dalam waktu yang singkat. Maka untuk mencari sebuah keutamaan, pilihan kadang memang perlu dipersempit, sebab semakin banyak pilihan maka akan semakin sulit bagi kita untuk memilih yang terbaik. Dan menurut kacamata agama yang tentunya selalu selaras dengan fitrah dan naluriah seorang insan. Ada beberapa keutamaan yang bias dipertimbangkan dalam memilih pasangan hidup.
1. Pilihan yang sekufu
Pilihlah wanita-wanita yang akan melahirkan anak-anakmu dan nikahilah wanita yang sekufu (sederajat) dan nikahlah dengan mereka.(HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi)
Al Kafaah merupakan masalah kesesuaian dan kesamaan antara pasangan pernikahan yang dianggap paling mendekati, seperti pertimbangan akan masalah: usia, garis keturunan, kehormatan, profesi, atau tingkat pendidikan. Para ulama menyarankan agar laki-laki idealnya menikah dengan wanita yang setingkat dengannya atau dibawahnya, sedangkan seorang wanita sebaiknya menikah dengan laki-laki yang mempunyai tingkatan yang sama atau di atasnya.
Tetapi penting untuk dipahami, bahwa tingkat kesamaan sosial ini bukanlah merupakan syarat mutlak dalam sebuah proses pernikahan, karena Islam sendiri adalah agama tanpa kelas, yang menyamakan kedudukan semua hambanya, terkecuali dari ketakwaanya.
Kalaupun ia menjadi sebuah pertimbangan, adalah semata-mata sebagai tindakan kehati-hatian, agar kelak tidak ada penyesalan dikemudian hari yang akhirnya bias lebih menyakitkan, karena sesungguhnya hati manusia itu memang sering labil dan mudah berubah-ubah. Dan masalah ini, sebenarnya merupakan tata cara kebijaksanaan duniawi yang masih bisa disepakati bila ada persetujuan diantara kedua belah pihak.
2. Memilih yang penuh kasih sayang dan subur
Nikahilah wanita-wanita yang penuh kasih dan banyak memberikan keturunan (subur) sebab aku akan bangga dengan banyaknya ummat dihari kiamat kelak (HR. Ahmad).
Hamba yang penuh kasih dan mengasihi adalah hamba yang memiliki nada perasaan (afek) yang halus serta emosi yang terkendali. Kita dapat mengenali apakah seseorang termasuk kriteria ini melalui ucapan, perbuatan ataupun tatapan mata, baik dikala ia gembira maupun kecewa, yang kesemuanya itu dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kepribadian dan isi hati yang dimilikinya. Apakah dipenuhi kelembutan dan kasih sayang? Ataukah dipenuhi kekasaran , kebencian dan kepalsuan.
Sementara itu mereka secara mudahnya dapat kita ketahui dari berapa jumlah saudara atau keluarganya yang terdekat, atau dari jenis penyakit penghambat keturunan yang diderita dirinya ataupun saudaranya dan keluarganya yang terdekat.
3. Memilih kerabat yang jauh
Nasihat Rasulullah saw. Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab dapat berakibat melahirkan keturunan yang lemah akal dan fisik. Dan selain untuk menjaga kualitas keturunan dari penyakit bawaan, menikahi mereka yang berasal jauh dari keluarga kita akan menambah ikatan kekerabatan dengan orang lain, serta memberikan kebahagiaan sendiri bila harus berpergian jauh untuk saling silaturahim.
4. Memilih para gadis
Nikahilah para gadis sebab ia lebih lembut mulutnya, lebih lengkap rahimnya, dan tidak berfikir untuk menyeleweng, serta rela dengan apa yang ada di tanganmu. (HR. Ibnu Majah. Al Baihaqi dari Uwaimir bin Saidah)
Pernikahan dengan yang masih gadis lebih utama daripada janda, karena dapat membuat hubungan lebih erat dan menyatu, mereka lebih mudah digoda dan Bercanda serta bersenang-senang, lebih setia dan menerima, serta lebih sedikit beban mental dan psikologisnya bagi kita. Semua ini mempunyai kesan dan kenikmatan tersendiri di dalam menambah keindahan rumah tangga.

Mempersempit pilihan bukan mempersulit pilihan
Jadi sesungguhnya tidak ada larangan untuk mempersempit pilihan kita dalam rangkan meraih sebuah ketentraman, selama pijakannya tetap berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Walaupun demikian, keinginan ini bukan suatu kemutlakan yang harus dilakukan apalagi dipaksakan.
Dalam kondisi-kondisi tertentu, menikahi seorang yang dari satu sisi dianggap tidak sekufu, atau yang kurang kesuburannya, atau yang masaih memiliki hubungan kerabat dekat, atau seorang janda, bukanlah suatu perbuatan yang bernilai minus di dalam Islam, bahkan bisa jadi lebih utama, bila ada alasan yang kuat untuk dilakukan.
Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa mempersempit pilihan ini tidaklah sama dengan mempersulit pilihan. Jika mempersempit pilihan berdasarkan anjuran agama demi keutamaan, kepuasan dan kesyukuran seorang hamba atas nikmat Allah yang sangat banyak, maka mempersulit pilihan merupakan anjuran hawa nafsu demi keangkuhan, gengsi dan kepuasan duniawi belaka. Jadi sangat jauh berbeda diantara keduanya!
ref: fath mu-'in

Jumat, 25 November 2011

do'a awal dan akhir tahun


DO’A AKHIR TAHUN
(DIBACA SESUDAH SHALAT ASHAR TGL 29/30 DZULHIJJAH, 3X)
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ, اَللّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِى هَذِهِ السَّنَةْ مِمَّا نَهَيْتَنِى عَنْهُ, فَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ, وَلَمْ تَرْضَهُ, وَلَمْ تَنْسَهُ, وَ حَلِمْتُ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِىْ وَ دَعَوْتَنِىْ إِلَى التَّوْبَتِيْ مِنْهُ بَعْدَ جُرْأَتِىْ عَلَى مَعْصِيَتِكَ. فَإِنِّى أَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِىْ. وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ. وَوَعَدْتَنِىْ عَلَيَّ الثَّوَابْ. فَأَسْئَلُكَ اَللّهُمَّ يَا كَرِيْم. يَاذَالْجَلَالِ وَالإِكْرَامْ. أَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّى. وَلَا تَقْطَعْ رَجَائِىْ مِنْكَ يَا كَرِيْم. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

DO’A AWAL TAHUN
(DIBACA PADA MALAM TGL. 1 MUHARROM
SESUDAH SHALAT MAGHRIB, 3X)
بسم الله الرحمن الرحيم
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ, اَللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الأوَّل. وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلْ. وَهَذَا عَامٌّ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلْ. نَسْئَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ وَجُنُوْدِهِ. وَاْلعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ. وَالْإِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِىْ إِلَيْكَ زُلْفَى. يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ. يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Senin, 21 November 2011

musaqoh


Transaksi dalam Islam: Musaqah
Pengertian Musaqah

Secara etimologi, Musaqah berasal dari kata Saqa – Saqy yang berarti As-Saqy yang artinya penyiraman atau pengairan.[1] Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama Musaqah (penyiraman = pengairan).
Musaqah menurut syara’ adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu. la merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon. Di mana pohon berada pada satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak, dengan persentase yang mereka sepakati. Misalnya: setengah, sepertiga atau lainnya.[2] Musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman atau pengairan.

Secara terminologi Musaqah didefinisikan oleh para ulama fikih : [3]

Suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi antar keduanya”.

Menurut ulama Syafi’iyah :

Mempekerjakan orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua.”

Secara terminologi, Musaqah didefinisikan oleh para ulama :
1.       Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Musaqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”. [4]
2.       Ulama Malikiyah, bahwa Musaqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”.[5] Menurut Ulama Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
a.       Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun;
b.       Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati;
c.       Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi;
d.       Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar;
e.       Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya;
3.       Menurut Ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan Musaqah ialah :
“Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”. [6]
4.       Menurut Ulama Hanabilah bahwa Musaqah itu mencakup dua masalah : [7]
a.       Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur,  kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
b.       Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.
5.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah, sama dengan muzara’ah, kecuali dalam empat perkara[8]
1.       Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam Musaqah, ia harus dipaksa, tetapi dalam muzara’ah, ia tidak boleh dipaksa.
2.       Jika waktu Musaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam muzara’ah, jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah.
3.       Waktu dalam Musaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tertentu.
4.       Jika Musaqah diminta oleh pemilik tanah sebelum panen maka penggarap mendapatkan upah. Sedangkan dalam muzara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
6.       Menurut Hasbi ash-Shiddiqi yang dimaksud dengan Musaqah adalah “syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”.[9]

Dalam pengertian menurut pendapat yang lain disebutkan Musaqah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik kebun dengan pengelola atau pemelihara, yang upah dari pemeliharaan itu adalah hasil dari kebun itu sendiri.[10] Sebagaimana juga pemaknaan Musaqah menurut Kamus Hukum Online menyatakan bahwa Musaqah adalah Suatu bentuk yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dan sebagai imbalannya si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[11]
Sejalan dengan pemaknaan dalam konteks kebahasaan tersebut, M. Ali Hasan, dalam bukunya yang berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam Islam menyatakan bahwa Musaqah adalah Akad (transaksi) antara pemilik kebun/tanaman dan pengelola (penggarap) untuk memelihara dan merawat kebun/tanaman pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah.[12]
Dari beberapa definisi yang telah disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Musaqah adalah akad (transaksi) antara pemilik kebun dan pengelola (penggarap) dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di bagi menjadi dua sesuai dengan akad yang telah disepakati, yang di mana si pengelola (penggarap) hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan, dan upah dari penyiraman dan pemeliharaan itu adalah hasil dari kebun itu sendiri (dalam bentuk barang/hasil panen, belum dijual/diuangkan).
Penggarap disebut Musaqi dan pihak yang lain disebut pemilik pohon. Yang dimaksud kata ‘pohon’ dalam masalah ini adalah semua yang ditanam agar dapat bertahan di tanah selama satu tahun ke atas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhirnya dalam pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak. Untuk pohon yang tidak berbuah imbalan untuk Musaqi adalah berbentuk pelepah dan kayu serta semacamnya.[13]


Dasar Hukum Musaqah

Dalam menentukan hukum Musaqah itu banyak perbedaan pendapat oleh para ulama fiqh. Musaqah disyari'atkan berdasarkan sunnah. Para ahli fikih sependapat bolehnya Musaqah ini melihat hal ini dibutuhkan. Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat tidak boleh, beliau mengatakan: “Bahwa akad Musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena Musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan di panen dari kebun”.[14]
Dalam masalah ini, Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah), dan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad) membolehkan Musaqah yang didasarkan pada muamalah Rasulullah saw. dengan orang Khaibar.

“Dari Ibnu Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah memperkerjakan penduduk khaibar dengan upah separuh hasil panen tanah yang digarap berupa buah atau tanaman yang dihasilkannya. (HR. Muslim) [15]

Hadits tersebut mengandung makna di antaranya adalah separuh dan memang ini yang dimaksudkannya. Dan buah-buahan bersifat umum yang mencangkup tanaman yang berakar kuat dan berumur 1 tahun ke atas termasuk kurma, anggur, dan lainnya.
Wilayah khaibar merupakan wilayah pertanian yang dihuni orang-orang Yahudi. Setelah Nabi Muhammad menaklukkannya pada tahun ketujuh setelah hijrah, membagi tanah dan tanamannya di antara para mujahidin yang berhak mendapatkan harta rampasan, sementara mereka sibuk dengan jihad fisabilillah dan berdakwah sehingga mereka tidak sempat mengurus dan menangani tanamannya, apalagi orang-orang Yahudi mempunyai keahlian tersendiri dalam bercocok tanam, maka beliau menetapkan agar penduduknya yang memang sejak awal berada di sana untuk menggarap tanah di sana dan mengairi pohon-pohonnya dan mereka menetapkan separuh dari buah-buahan dan tanamannya, sebagai imbalan atas pekerjaan dan segala pembiayaan yang mereka keluarkan, sedangkan bagi orang-orang muslim separuhnya lagi karena mereka merupakan pemilik lahan.
Kegiatan muamalah ini terus berjalan bersama Rasulullah SAW dan khalifah Abu Bakar, hingga tiba khalifah Umar bin Khattb dan mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Khaibar.[16]

Al-Bukhari meriwayatkan; bahwa orang Anshar pernah berkata kepada Rasulullah saw. :

"Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “orang-orang Anshar berkata kepada Nabi saw., “bagilah kurma kami dengan saudara-saudara kami.” Rasulullah menjawab, “tidak”, lalu orang Anshar berkata, “kalian memberi biaya perawatannya, lalu buahnya kita bagi bersama?”, orang-orang Muhajirin berkata, “kami patuh dan kami taat.”. (HR. Bukhari) [17]

Orang-orang Anshar menginginkan melakukan kerjasama dengan orang-orang Muhajirin dalam mengelola pohon kurma, lalu mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah, kemudian beliau tidak bersedia. Lalu mereka mengajukan usul, bahwa merekalah yang mengelola persoalannya, dan mereka berhak sebagian hasilnya. Lalu Rasulullah mengabulkan permohonan mereka.

Hadits shahih dari Ibnu Umar ra. yang berbunyi:
“Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw. menyerahkan kepada orang-orang Yahudi penduduk Khaibar pohon Korma dan tanah supaya mereka usahakan dengan belanja (harta) mereka sendiri, sedang Rasulullah saw. mendapatkan sebagian dari buah Korma itu ”. (HR. Muslim) [18]

Dan dalam salah satu riwayat hadits tersebut disebutkan sebagai berikut :

“Dari Ibnu Umar ra., bahwa Umar bin Khaththab pernah mengusir orang-orang yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Dan ketika Rasulullah saw. Menaklukkan Khaibar, beliau bermaksud mengusir orang Yahudi dari sana, sedangkan pada waktu ditaklukkan tanah Khaibar dibagi untuk Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin, maka beliau bermaksud mengeluarkan orang Yahudi dari sana. Kemudian orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah saw. agar beliau tidak mengusir mereka dengan syarat mereka akan menggarap tanah Khaibar. Dan mereka mendapat bagian separuh dari buahnya. Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Kami mengizinkan kamu menetap di situ dengan ketentuan demikian, selama kami mau”. Lalu mereka menetap di situ sampai mereka diusir oleh Umar dan disuruh pindah ke negeri Taima dan Ariha”. (HR. Muslim) [19]

Di dalam kitab Nailul Authar Al Hazami berkata: “Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a., Abdullah bin Mas'ud, Ammar bin Yasir, Said bin Al Musayyab, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syihab Az Zuhri dan sejumlah tokoh, di antaranya Abu Yusuf Al Qadhi dan Muhammad bin Al Hasan, mereka mengatakan, “Kerjasama dalam pertanian dan Musaqah dibolehkan, dengan imbalan buah atau tanaman”. Lebih lanjut mereka mengatakan, “boleh akad kerjasama cocok tanam dan Musaqah sekaligus. Pohon kurma disiram dan tanah ditanami, seperti yang berlangsung di Khaibar dan boleh pula akad dipisah satu-satu”.[20]


Rukun dan Syarat Musaqah

1.       Rukun Musaqah
a.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun Musaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada muzara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam muzara’ah.[21]
b.       Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidak ijab-qabul dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz.[22]
c.       Ulama Hanabilah berpendapat bahwa qabul dalam Musaqah, seperti dalam muzara’ah tidak memerlukan lafadz, cukup dengan menggarapnya.[23]
d.       Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa mensyaratkan dalam qabul dengan lafazh (ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.[24]
Mengenai rukun-rukun Musaqah menurut Ulama Syafi’iyah sebagai berikut :[25]
1)       Sighat ijab qobul yang kadang-kadang berupa terang-terangan dan kadang mendekati terang (sindiran).
2)       Dua orang yang kerjasama (aqidani) sebab perjanjian kerjasama Musaqah tak bisa berwujud kecuali dengan adanya pemilik tanah dengan penggarap yang keduanya disyaratkan agar benar-benar memiliki kelayakan kerjasama, karena kerjasama ini tidak sah dilakukan dengan orang gila, anak kecil sebagaimana yang dijelaskan di Bab Jual Beli.
3)       Ada sasaran penggarapan yaitu pohonnya, sebab kerjasama Musaqah tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pohon tersebut.
4)       Adanya pekerjaan dan pengolahan sebab kerjasama Musaqah tidak akan terwujud tanpa adanya pekerjaan yang akan dimulai dari penggarapan sampai masa panen.
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun Musaqah ada 5 (lima) [26], yaitu berikut ini :
a.       Dua orang yang akad (Al-Aqidani).
      Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama secara umum mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun Musaqah sebab Rasulullah SAW. pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang Khaibar.
b.       Objek Musaqah
Objek Musaqah menurut ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiah lainnya dibolehkan Musaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.[27]
Objek Musaqah menurut ulama Malikiyah[28] berpendapat bahwa objek Musaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti pohon yang berbuah dan yang memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
1)       Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan;
2)       Akad ditentukan dengan waktu tertentu.
Objek Musaqah menurut ulama Hanabilah[29] berpendapat bahwa Musaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
Objek Musaqah menurut ulama Syafi'iyah[30] dalam madzhab baru berpendapat bahwa Musaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasuhulah SAW. terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya.
c.       Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
d.       Shighat
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan ucapan saja.
Menurut ulama Syafi'iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad Musaqah sebab berlainan akad.
2.       Syarat Al-Musaqah
Syarat-syarat Musaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam muzara’ah. Hanya saja, pada Musaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun. serta ketetapan waktu.
Beberapa syarat yang ada dalam Musaqah adalah: [31]
a.       Ahli dalam akad
b.       Menjelaskan bagian penggarap
c.       Membebaskan pemilik dari pohon
d.       Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad.
e.       Sampai batas akbir, yakni menyeluruh sampai akhir.
            
 Di dalam melakukan Musaqah disyaratkan terpenuhinya hal-hal sebagai berikut: [32]
a.       Bahwa  pohon  yang  di-Musaqah-kan  diketahui dengan jalan melihat, atau memperkenalkan sifat-sifat yang tidak bertentangan dengan kenyataan pohonnya. Karena akad dinyatakan tidak sah, untuk sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas.
b.       Bahwa masa yang diperlukan itu diketahui dengan jelas. Karena Musaqah adalah akad lazim yang menyerupai akad sewa-menyewa. Dengan kejelasan ini akan tidak ada unsur gharar.
c.       Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa menjelaskan masa lamanya, bukanlah merupakan syarat dalam Musaqah, tetapi sunnah, yang berpendapat tidak diperlukannya syarat ini adalah Zahiriyah.[33]
d.       Menurut mazhab Hanafi bahwa manakala masa Musaqah telah berakhir sebelum masaknya buah, pohon wajib ditinggalkan/dibiarkan ada di tangan penggarap, agar ia terus menggarap (tetapi) tanpa imbalan, sampai pohon itu berbuah masak.[34]
e.       Bahwa 'akad itu dilangsungkan sebelum nampak baiknya buah/hasil. Karena dalam keadaan seperti ini, pohon memerlukan penggarapan. Adapun sesudah kelihatan hasilnya, menurut sebagian Ahli Fiqih adalah bahwa Musaqah tidak dibolehkan. Karena tidak lagj membutuhkan hal itu, kalaupun tetap dilangsungkan namanya ijarah (sewa-menyewa), bukan lagi Musaqah. Namun, ada pula yang membolehkannya sekalipun dalam keadaan seperti ini. Sebab jika hal itu boleh berlangsung sebelum Allah menciptakan buah, masa sesudah itu tentu lebih utama.
f.         Bahwa imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah itu diketahui dengan jelas. Misalnya separuh atau sepertiga. Kalau dalam perjanjian ini disyarat­kan untuk si penggarap atau si pemilik pohon mengambil hasil dari pohon-pohon tertentu saja, atau kadar tertentu, maka Musaqah tidak sah.
Apabila satu syarat dan syarat-syarat ini tidak terpenuhi, akad dinyatakan fasakh dan Musaqah menjadi fasad [35].


Kebolehan Bagi Hasil Al-Musaqah

Para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal yang diperbolehkan dimusaqahkan. Sebagian mereka ada yang membatasi pada kurma saja, seperti Daud. Sebagian lagi ada yang menambah, yaitu kurma dan anggur, seperti pendapat Asy-Syafi’i. Sebagian lagi ada yang berpendapat lebih luas lagi, seperti mahdzab Hanafi. Menurut mereka boleh berlaku untuk pohon krum dan baqul dan semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dan untuk mencabutnya tidak ada batas sehingga merusak tanah disekitarnya, setiap kali dipangkas ia tumbuh, seperti karats dan tebu Persia.
Apabila masa waktunya tidak dijelaskan, akad jatuh untuk awal bagian yang diperoleh sesudah akad, dan sah pula untuk yang buahnya bertahapan dan muncul sedikit demi sedikit, seperti terong.
Kalaulah seseorang menyerahkan pohon yang sudah dipangkas untuk diurus penggarapannya dan penyiramannya sampai pohon itu merintis daunnya (menghasilkan), dan hasilnya dibagi dua, maka hal itu boleh tanpa menjelaskan soal panjangnya masa.
Menurut Imam Malik, Musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang mempunyai akar tetap (kuat) seperti: Delima, Tin, Zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu, dan boleh juga untuk pohon yang berakar tidak kuat seperti Semangka, dalam keadaan pemiliknya tidak lagi mampu menggarapnya. Demikian pula dengan tumbuhan.
Menurut madzhab Hambali, Musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Di dalam kitab Al-Mughni, ia berkata: “Musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan, dan diperbolehkan untuk yang memerlukan siraman”.

Dari beberapa pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan mengenai jenis tanaman yang diperbolehkan untuk dijadikan objek musaqah yaitu jenis tanaman jangka panjang, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Berupa tanaman keras (batangnya), akarnya tetap (kuat).
2.     Berbuah/menghasilkan buah setiap tahun, contohnya seperti Durian, Kelapa, Kakau, Kurma, dan lain-lain.
3.      Dari mulai ditanam sampai siap berbuah memerlukan waktu di atas 1 (satu) tahun.

Sedangkan jenis tanaman yang tidak dapat dijadikan objek Musaqah adalah jenis tanaman jangka pendek dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Berupa tanaman tidak keras.
2.      Berbuah/menghasilkan buah hanya sekali panen lalu mati atau berbuah tetapi tidak produktif lagi (ada yang berbuah ada yang tidak), contohnya seperti Semangka, Melon, Cabai, Jagung, dan lain-lain.
3.      Dari mulai ditanam sampai siap berbuah memerlukan waktu di bawah 1 (satu) tahun.


Sah dan Rusaknya Al-Musaqah

1.       Sahnya Musaqah (Musaqah Sahih)
Sahnya Musaqah menurut para ulama memiliki beberapa hukum atau ketetapan.
a.       Menurut ulama Hanafiyah,[36] hukum Musaqah Sahih adalah berikut ini :
1)       Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
2)       Hasil dari Musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
3)       Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
4)       Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
5)       Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada uzur.
6)       Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati.
7)       Penggarap tidak memberikan Musaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
b.       Ulama Malikiyah[37] pada umumnya menyepakati hukum-hukum yang ditetapkan ulama Hanafiyah. Namun demikian, mereka berpendapat dalam penggarapan :
1)       Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan.
2)       Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
3)       Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
c.       Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap tersebut, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.[38]
2.       Rusaknya Musaqah (Musaqah Fasid)
Musaqah Fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’. Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan Musaqah Fasid menurut ulama Hanafiyah,[39] antara lain :
a.       Mensyaratkan hasil Musaqah bagi salah seorang dari yang akad.
b.       Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c.       Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d.    Mensyaratkan dalam pemetikan dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.
e.       Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
f.         Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
g.       Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h.       Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
Dampak Musaqah Fasid menurut para ulama :
a.       Menurut ulama Hanafiyah[40] :
1)       Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja.
2)       Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
3)       Jika Musaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah.
b.       Menurut ulama Malikiyah,[41] jika Musaqah rusak sebelum penggarapan, upah tidak diberikan. Sebaliknya, apabila Musaqah rusak setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan Musaqah, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
Di antara contoh Musaqah Fasid menurut golongan ini adalah penggarap mensyaratkan adanya tambahan tertentu dari pemilik, seakan-akan penggarap bekerja untuk mendapatkan upah.
Namun demikian, jika Musaqah rusak karena kemudharatan atau ada halangan, masalah Musaqah tetap diteruskan sekedarnya.
c.     Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah[42] berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan manfaat dari jerih payahnya dalam Musaqah.
Di antara hal-hal yang menyebabkan Musaqah rusak, menurut golongan ini, adalah dua pihak tidak mengetahui bagiannya masing-masing; mensyaratkan jumlah buah tertentu, mensyaratkan pemilik harus bekerja, mensyaratkan mengerjakan sesuatu selain pohon.


Habisnya Waktu Al-Musaqah

Menurut Ulama Hanafiyah [43]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah sebagaimana dalam muzara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara, yaitu:
a.       Habis waktu yang telah disepakati kedua belah pihak yang akad.
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerjanya di luar waktu yang telah disepakati, ia tidak akan mendapatkan upah.
b.       Meninggalnya salah seorang yang akad.
Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan Musaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaannya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris menolak, Musaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
c.       Membatalkan, baik ucapan secara jelas atau adanya uzur.
Di antara uzur yang dapat membatalkan Musaqah :
a.       Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang akan digarapnya.
b.       Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.

Menurut Ulama Malikiyah [44]
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa Musaqah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa Musaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan di antara keduanya.

Menurut Ulama Syafi’iyah [45]
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Musaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah, Musaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu Musaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaannya.
Musaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad menjadi batal.

Menurut Ulama Hanabilah [46]
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa Musaqah sama dengan muzara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari Musaqah dapat membatalkannya. Jika Musaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun Musaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, Musaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga Musaqah sempurna.
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika pemilik membatalkan Musaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan orang lain, tetapi tanggung-jawabnya tetap di tangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama Hanabilah pun berpendapat bahwa Musaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.


[1] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, 2002, hlm. 642.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Terjemahan H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah Jilid 12-13-14, PT. Alma’arif, Bandung, 1987, hlm. 183.
[3] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, Juz V, Dar Al-Fikr, Beirut, 1989, hlm. 630. Lihat Alaudin Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i, Jilid VI, Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, t.t., hlm. 185.
[4] Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut, 1969, hlm. 21.
[5] Ibid., hlm. 21.
[6] Ibid., hlm. 28.
[7] Ibid., hlm. 31.
[8] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 213.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 91.
            [10] Ibid., hlm. 91.
            [11] http://www.kamushukum.com, di akses pada tanggal 31 Maret 2009.
            [12] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 28
[13] Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
[14] Alaudin Al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, Jilid IV, Cetakan ke-II, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, 1982, hlm. 282.
[15] Adip Bisri Mustafa, Terjemahan Shahih Muslim Jilid III, Asy Syifa, Semarang, 1993, hlm. 60.
[16] Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhori-Muslim, Buku Islam Kaffah, 1992, hlm. 684.
            [17] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Shahih Bukhari, Terjemahan Abdul Hayyie al-Katani dan A. Ikhwani, Ringkasan Shahih Bukhari Jilid 2,  Cetakan 1, Gema Insani Press, Jakarta, 2007, hlm. 122.
   [18] Imam Muslim, Op. Cit., hlm. 774.
            [19] Ibid., hlm. 775.
[20] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad Asy-Syaukânî, Nail al-Authar Syarah Muntaqa al-Akbar, Penterjemah Mu’ammal Hamidy, dkk., Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-hadits Hukum jilid 3, Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 23.
[21] Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahidwa Nihayah Al-Muqtashid, Juz 1, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., hlm. 247.
[22] Ibid., hlm. 247.
[23] Ibid., hlm. 247.
[24] Ibid., hlm. 247.
[25] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh 4 Madzhab Bagian Muamalah Jilid IV, As-Syifa, Semarang, 1994, hlm. 62.
[26] Rachmat Syafe’I, Op. Cit., hlm. 214.
[27] Alaudin Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i, juz VI, Syirkah Mathbu’ah, Mesit, t.t., hlm. 186.
[28] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 243-246.
[29] Mansur ibn Yunus ibn Idris Al-Bahuti, Kasysyaf Al-Qina, Juz III, Dar Al-Fikr, Beirut, 1402 H, hlm. 523.
[30] Al-Khatib Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., hlm. 323.
[31] Rachmat Syafe’I, Op. Cit, hlm. 214.
[32] Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 185.
[33] Ibid., hlm. 185.
[34] Ibid., hlm. 185.
[35] Rachmat Syafe’I, Op. Cit., hlm. 217.
[36] Alaudin Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 187.
[37] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 244.
[38] Al-Khatib Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz II, hlm. 328.
[39] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 247.
[40] Alaudin Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 188.
[41] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 248.
[42] Al-Khatib Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz II, hlm. 327-336, 331.
[43] Alaudin Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 190.
[44] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 247.
[45] Al-Khatib Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz V, hlm. 333.
[46] Ibid., hlm. 372 – 377