Transaksi
dalam Islam: Musaqah
Pengertian
Musaqah
Secara etimologi, Musaqah berasal dari kata Saqa
– Saqy yang berarti As-Saqy yang artinya penyiraman atau pengairan.[1] Diberi
nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini
dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama Musaqah (penyiraman =
pengairan).
Musaqah menurut syara’ adalah
penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai
buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu. la merupakan
persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon. Di mana pohon berada pada
satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah
yang dihasilkan untuk kedua belah pihak, dengan persentase yang mereka
sepakati. Misalnya: setengah, sepertiga atau lainnya.[2] Musaqah adalah salah satu
bentuk penyiraman atau pengairan.
Secara terminologi Musaqah didefinisikan oleh para
ulama fikih : [3]
“Suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan
hasilnya dibagi antar keduanya”.
Menurut ulama Syafi’iyah :
“Mempekerjakan
orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan
menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua.”
Secara terminologi, Musaqah didefinisikan oleh para ulama :
1. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Musaqah ialah
: “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya
dengan syarat-syarat tertentu”. [4]
2. Ulama Malikiyah, bahwa Musaqah ialah :
“sesuatu yang tumbuh”.[5] Menurut Ulama Malikiyah, tentang sesuatu
yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
a. Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon
tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu
yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun;
b. Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah,
seperti pohon kayu keras, karet dan jati;
c. Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan
dapat di petik, seperti padi;
d. Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang
dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar;
e. Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu
manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan
di tempat lainya;
3. Menurut Ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan Musaqah
ialah :
“Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada
orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya
dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan
pohon-pohon tersebut”. [6]
4. Menurut Ulama Hanabilah bahwa Musaqah itu
mencakup dua masalah : [7]
a. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti
pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan
sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
b. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut
belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya,
yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya,
yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik
menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.
5. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah,
sama dengan muzara’ah, kecuali dalam empat perkara[8]
1. Jika salah seorang yang
menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam Musaqah, ia harus dipaksa,
tetapi dalam muzara’ah, ia tidak boleh dipaksa.
2. Jika waktu Musaqah
habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam muzara’ah,
jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah.
3. Waktu dalam Musaqah ditetapkan
berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam
muzara’ah terkadang tidak tertentu.
4. Jika Musaqah diminta oleh
pemilik tanah sebelum panen maka penggarap mendapatkan upah. Sedangkan dalam muzara’ah
jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
6. Menurut Hasbi ash-Shiddiqi yang dimaksud dengan Musaqah
adalah “syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”.[9]
Dalam pengertian menurut pendapat yang lain disebutkan Musaqah
adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara
pemilik kebun dengan pengelola atau pemelihara, yang upah dari pemeliharaan itu
adalah hasil dari kebun itu sendiri.[10] Sebagaimana juga pemaknaan Musaqah
menurut Kamus Hukum Online menyatakan bahwa Musaqah adalah Suatu bentuk
yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dan sebagai imbalannya si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[11]
Sejalan dengan pemaknaan dalam konteks
kebahasaan tersebut, M. Ali Hasan, dalam bukunya yang berjudul Berbagai
Macam Transaksi dalam Islam menyatakan bahwa Musaqah adalah Akad (transaksi) antara pemilik
kebun/tanaman dan pengelola (penggarap) untuk memelihara dan merawat
kebun/tanaman pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah.[12]
Dari beberapa definisi yang telah disampaikan
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Musaqah adalah akad (transaksi) antara pemilik
kebun dan pengelola (penggarap) dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan
dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di
bagi menjadi dua sesuai dengan akad yang telah disepakati, yang di mana si pengelola (penggarap) hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan, dan upah dari penyiraman
dan pemeliharaan
itu adalah hasil dari kebun itu sendiri (dalam bentuk barang/hasil panen, belum
dijual/diuangkan).
Penggarap disebut Musaqi dan pihak
yang lain disebut pemilik pohon. Yang dimaksud kata ‘pohon’ dalam masalah ini
adalah semua yang ditanam agar dapat bertahan di tanah selama satu tahun ke
atas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhirnya dalam
pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak. Untuk pohon
yang tidak berbuah imbalan untuk Musaqi adalah berbentuk pelepah dan
kayu serta semacamnya.[13]
Dasar Hukum Musaqah
Dalam menentukan hukum Musaqah itu banyak
perbedaan pendapat oleh para ulama fiqh. Musaqah disyari'atkan berdasarkan sunnah. Para ahli fikih sependapat bolehnya Musaqah ini melihat hal ini dibutuhkan. Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat tidak boleh, beliau
mengatakan: “Bahwa akad Musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap
mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena Musaqah
seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan
di panen dari kebun”.[14]
Dalam masalah ini, Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu
Hanifah), dan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad)
membolehkan Musaqah yang didasarkan pada muamalah
Rasulullah saw. dengan orang Khaibar.
“Dari Ibnu Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW
pernah memperkerjakan penduduk khaibar dengan upah separuh hasil panen tanah
yang digarap berupa buah atau tanaman yang dihasilkannya. (HR. Muslim) [15]
Hadits tersebut mengandung makna di antaranya adalah
separuh dan memang ini yang dimaksudkannya. Dan buah-buahan bersifat umum yang
mencangkup tanaman yang berakar kuat dan berumur 1 tahun ke atas termasuk
kurma, anggur, dan lainnya.
Wilayah khaibar merupakan wilayah pertanian yang dihuni
orang-orang Yahudi. Setelah Nabi Muhammad menaklukkannya pada tahun ketujuh
setelah hijrah, membagi tanah dan tanamannya di antara para mujahidin yang
berhak mendapatkan harta rampasan, sementara mereka sibuk dengan jihad fisabilillah
dan berdakwah sehingga mereka tidak sempat mengurus dan menangani tanamannya,
apalagi orang-orang Yahudi mempunyai keahlian tersendiri dalam bercocok tanam,
maka beliau menetapkan agar penduduknya yang memang sejak awal berada di sana
untuk menggarap tanah di sana dan mengairi pohon-pohonnya dan mereka menetapkan
separuh dari buah-buahan dan tanamannya, sebagai imbalan atas pekerjaan dan
segala pembiayaan yang mereka keluarkan, sedangkan bagi orang-orang muslim
separuhnya lagi karena mereka merupakan pemilik lahan.
Kegiatan muamalah ini terus berjalan bersama Rasulullah
SAW dan khalifah Abu Bakar, hingga tiba khalifah Umar bin Khattb dan mengusir
orang-orang Yahudi dari tanah Khaibar.[16]
Al-Bukhari meriwayatkan; bahwa orang Anshar pernah berkata kepada
Rasulullah saw. :
"Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata,
“orang-orang Anshar berkata kepada Nabi saw., “bagilah kurma kami dengan
saudara-saudara kami.” Rasulullah menjawab, “tidak”, lalu orang Anshar berkata,
“kalian memberi biaya perawatannya, lalu buahnya kita bagi bersama?”,
orang-orang Muhajirin berkata, “kami patuh dan kami taat.”. (HR. Bukhari) [17]
Orang-orang Anshar
menginginkan melakukan kerjasama dengan orang-orang Muhajirin dalam mengelola
pohon kurma, lalu mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah, kemudian
beliau tidak bersedia. Lalu mereka mengajukan usul, bahwa merekalah yang
mengelola persoalannya, dan mereka berhak sebagian hasilnya. Lalu Rasulullah
mengabulkan permohonan mereka.
Hadits shahih dari Ibnu Umar ra. yang berbunyi:
“Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. menyerahkan kepada orang-orang Yahudi penduduk
Khaibar pohon Korma dan tanah supaya mereka usahakan dengan belanja (harta)
mereka sendiri, sedang Rasulullah saw. mendapatkan sebagian dari buah Korma itu
”. (HR. Muslim) [18]
Dan dalam salah satu riwayat hadits tersebut disebutkan
sebagai berikut :
“Dari Ibnu Umar ra., bahwa Umar bin Khaththab
pernah mengusir orang-orang yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Dan ketika
Rasulullah saw. Menaklukkan Khaibar, beliau bermaksud mengusir orang Yahudi
dari sana, sedangkan pada waktu ditaklukkan tanah Khaibar dibagi untuk Allah,
Rasul-Nya dan kaum muslimin, maka beliau bermaksud mengeluarkan orang Yahudi
dari sana. Kemudian orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah saw. agar
beliau tidak mengusir mereka dengan syarat mereka akan menggarap tanah Khaibar.
Dan mereka mendapat bagian separuh dari buahnya. Maka Rasulullah saw. bersabda
kepadanya: “Kami mengizinkan kamu menetap di situ dengan ketentuan demikian,
selama kami mau”. Lalu mereka menetap di situ sampai mereka diusir oleh Umar
dan disuruh pindah ke negeri Taima dan Ariha”. (HR. Muslim) [19]
Di dalam kitab Nailul Authar Al Hazami berkata:
“Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a., Abdullah bin Mas'ud, Ammar bin
Yasir, Said bin Al Musayyab, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Abi
Laila, Ibnu Syihab Az Zuhri dan sejumlah tokoh, di antaranya Abu Yusuf Al Qadhi
dan Muhammad bin Al Hasan, mereka mengatakan, “Kerjasama dalam pertanian dan Musaqah
dibolehkan, dengan imbalan buah atau tanaman”. Lebih lanjut mereka mengatakan,
“boleh akad kerjasama cocok tanam dan Musaqah sekaligus. Pohon kurma
disiram dan tanah ditanami, seperti yang berlangsung di Khaibar dan boleh pula
akad dipisah satu-satu”.[20]
Rukun dan Syarat Musaqah
1. Rukun Musaqah
a. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa rukun Musaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada muzara’ah.
Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam muzara’ah.[21]
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidak
ijab-qabul dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz.[22]
c. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa qabul dalam
Musaqah, seperti dalam muzara’ah tidak memerlukan lafadz, cukup
dengan menggarapnya.[23]
d. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa
mensyaratkan dalam qabul dengan lafazh (ucapan) dan ketentuannya didasarkan
pada kebiasaan umum.[24]
Mengenai rukun-rukun Musaqah menurut Ulama Syafi’iyah
sebagai berikut :[25]
1) Sighat ijab qobul yang
kadang-kadang berupa terang-terangan dan kadang mendekati terang (sindiran).
2) Dua orang yang kerjasama (aqidani) sebab
perjanjian kerjasama Musaqah tak bisa berwujud kecuali dengan adanya pemilik
tanah dengan penggarap yang keduanya disyaratkan agar benar-benar memiliki
kelayakan kerjasama, karena kerjasama ini tidak sah dilakukan dengan orang
gila, anak kecil sebagaimana yang dijelaskan di Bab Jual Beli.
3) Ada sasaran penggarapan yaitu pohonnya, sebab
kerjasama Musaqah tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pohon tersebut.
4) Adanya pekerjaan dan pengolahan sebab
kerjasama Musaqah tidak akan terwujud tanpa adanya pekerjaan yang akan dimulai
dari penggarapan sampai masa panen.
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun Musaqah ada 5
(lima) [26], yaitu berikut ini :
a. Dua orang yang akad (Al-Aqidani).
Al-Aqidani
disyaratkan harus baligh dan berakal.
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri.
Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara
bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama secara umum mensyaratkan penggarap
harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal
berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan
batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun Musaqah sebab
Rasulullah SAW. pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang
Khaibar.
b. Objek Musaqah
Objek Musaqah menurut ulama Hanafiah
adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian
ulama Hanafiah lainnya dibolehkan Musaqah atas pohon yang tidak
berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.[27]
Objek Musaqah menurut ulama Malikiyah[28] berpendapat bahwa objek Musaqah
adalah tumbuh-tumbuhan, seperti pohon yang berbuah dan yang memiliki akar yang
tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua
syarat:
1)
Akad
dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan;
2)
Akad
ditentukan dengan waktu tertentu.
Objek Musaqah menurut ulama Hanabilah[29] berpendapat bahwa Musaqah
dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
Objek Musaqah menurut ulama Syafi'iyah[30] dalam madzhab baru
berpendapat bahwa Musaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur
saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasuhulah SAW. terhadap orang Khaibar,
sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi
wajib zakatnya.
c. Buah
Disyaratkan menentukan buah
ketika akad untuk kedua pihak.
d. Shighat
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus
diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut ulama
Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan
ucapan, melainkan cukup dengan ucapan saja.
Menurut ulama Syafi'iyah, tidak
dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad Musaqah
sebab berlainan akad.
2. Syarat Al-Musaqah
Syarat-syarat Musaqah sebenarnya tidak berbeda
dengan persyaratan yang ada dalam muzara’ah. Hanya saja, pada Musaqah
tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan
kebun. serta ketetapan waktu.
Beberapa syarat yang ada dalam Musaqah adalah: [31]
a.
Ahli
dalam akad
b.
Menjelaskan
bagian penggarap
c.
Membebaskan
pemilik dari pohon
d.
Hasil
dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad.
e.
Sampai
batas akbir, yakni menyeluruh sampai akhir.
Di dalam melakukan Musaqah
disyaratkan terpenuhinya hal-hal sebagai berikut: [32]
a. Bahwa pohon
yang di-Musaqah-kan diketahui dengan jalan melihat, atau
memperkenalkan sifat-sifat yang tidak bertentangan dengan kenyataan pohonnya.
Karena akad dinyatakan tidak sah, untuk sesuatu yang tidak diketahui dengan
jelas.
b. Bahwa masa yang diperlukan
itu diketahui dengan jelas. Karena Musaqah adalah
akad lazim yang menyerupai akad sewa-menyewa. Dengan kejelasan ini akan tidak
ada unsur gharar.
c. Abu Yusuf dan Muhammad
berpendapat bahwa menjelaskan masa lamanya, bukanlah merupakan syarat dalam Musaqah,
tetapi sunnah, yang berpendapat tidak diperlukannya syarat ini adalah
Zahiriyah.[33]
d. Menurut mazhab Hanafi
bahwa manakala masa Musaqah telah berakhir sebelum masaknya buah, pohon
wajib ditinggalkan/dibiarkan ada di tangan penggarap, agar ia terus menggarap
(tetapi) tanpa imbalan, sampai pohon itu berbuah masak.[34]
e. Bahwa 'akad itu
dilangsungkan sebelum nampak baiknya buah/hasil. Karena dalam keadaan seperti
ini, pohon memerlukan penggarapan. Adapun sesudah kelihatan hasilnya, menurut
sebagian Ahli Fiqih adalah bahwa Musaqah tidak dibolehkan. Karena tidak
lagj membutuhkan hal itu, kalaupun tetap dilangsungkan namanya ijarah
(sewa-menyewa), bukan lagi Musaqah. Namun, ada pula yang membolehkannya
sekalipun dalam keadaan seperti ini. Sebab jika hal itu boleh berlangsung
sebelum Allah menciptakan buah, masa sesudah itu tentu lebih utama.
f.
Bahwa
imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah itu diketahui dengan jelas. Misalnya
separuh atau sepertiga. Kalau dalam perjanjian ini disyaratkan untuk si
penggarap atau si pemilik pohon mengambil hasil dari pohon-pohon tertentu saja, atau kadar tertentu, maka Musaqah
tidak sah.
Apabila satu syarat dan syarat-syarat ini tidak
terpenuhi, akad dinyatakan fasakh dan Musaqah menjadi fasad [35].
Kebolehan Bagi Hasil Al-Musaqah
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam
hal yang diperbolehkan dimusaqahkan. Sebagian mereka ada yang membatasi pada kurma
saja, seperti Daud. Sebagian lagi ada yang menambah, yaitu kurma dan anggur,
seperti pendapat Asy-Syafi’i. Sebagian lagi ada yang berpendapat lebih luas
lagi, seperti mahdzab Hanafi. Menurut mereka boleh berlaku untuk pohon krum
dan baqul dan semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dan untuk
mencabutnya tidak ada batas sehingga merusak tanah disekitarnya, setiap kali
dipangkas ia tumbuh, seperti karats dan tebu Persia.
Apabila masa waktunya tidak dijelaskan,
akad jatuh untuk awal bagian yang diperoleh sesudah akad, dan sah pula untuk
yang buahnya bertahapan dan muncul sedikit demi sedikit, seperti terong.
Kalaulah seseorang menyerahkan pohon
yang sudah dipangkas untuk diurus penggarapannya dan penyiramannya sampai pohon
itu merintis daunnya (menghasilkan), dan hasilnya dibagi dua, maka hal itu
boleh tanpa menjelaskan soal panjangnya masa.
Menurut Imam Malik, Musaqah
diperbolehkan untuk semua pohon yang mempunyai akar tetap (kuat) seperti:
Delima, Tin, Zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu, dan boleh juga
untuk pohon yang berakar tidak kuat seperti Semangka, dalam keadaan pemiliknya
tidak lagi mampu menggarapnya. Demikian pula dengan tumbuhan.
Menurut madzhab Hambali, Musaqah
diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Di dalam kitab Al-Mughni,
ia berkata: “Musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan, dan
diperbolehkan untuk yang memerlukan siraman”.
Dari beberapa pendapat para ulama di
atas dapat diambil kesimpulan mengenai jenis tanaman yang diperbolehkan untuk
dijadikan objek musaqah yaitu jenis tanaman jangka panjang, dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Berupa tanaman keras (batangnya),
akarnya tetap (kuat).
2. Berbuah/menghasilkan buah setiap tahun,
contohnya seperti Durian, Kelapa, Kakau, Kurma, dan lain-lain.
3. Dari mulai ditanam sampai siap berbuah
memerlukan waktu di atas 1 (satu) tahun.
Sedangkan jenis tanaman yang tidak
dapat dijadikan objek Musaqah adalah jenis tanaman jangka pendek dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Berupa tanaman tidak keras.
2. Berbuah/menghasilkan buah hanya sekali
panen lalu mati atau berbuah tetapi tidak produktif lagi (ada yang berbuah ada
yang tidak), contohnya seperti Semangka, Melon, Cabai, Jagung, dan lain-lain.
3. Dari mulai ditanam sampai siap berbuah
memerlukan waktu di bawah 1 (satu) tahun.
Sah dan Rusaknya Al-Musaqah
1. Sahnya Musaqah (Musaqah Sahih)
Sahnya Musaqah menurut para ulama memiliki beberapa hukum atau
ketetapan.
a. Menurut ulama Hanafiyah,[36] hukum Musaqah Sahih adalah
berikut ini :
1) Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon
diserahkan kepada penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan
dibagi dua.
2) Hasil dari Musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
3) Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak
mendapatkan apa-apa.
4) Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan
demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah
satunya.
5) Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja, kecuali
ada uzur.
6) Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah
disepakati.
7) Penggarap tidak memberikan Musaqah kepada
penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap
awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua mendapat upah
sesuai dengan pekerjaannya.
b. Ulama Malikiyah[37] pada umumnya menyepakati hukum-hukum
yang ditetapkan ulama Hanafiyah. Namun demikian, mereka berpendapat dalam
penggarapan :
1) Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib
dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan.
2) Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di
tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
3) Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas, tetapi
tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat
garapan, dan lain-lain.
c. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama
Malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap tersebut, dan menambahkan bahwa
segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan
pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.[38]
2. Rusaknya Musaqah (Musaqah Fasid)
Musaqah Fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan syara’. Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan Musaqah Fasid menurut
ulama Hanafiyah,[39] antara lain :
a. Mensyaratkan hasil Musaqah bagi salah seorang dari
yang akad.
b. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d. Mensyaratkan dalam pemetikan dan kelebihan kepada penggarap, sebab
penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya.
Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang
yang akad.
e. Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah
pembagian.
f. Mensyaratkan kepada penggarap untuk
terus bekerja setelah habis waktu akad.
g. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h. Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga
penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
Dampak Musaqah Fasid menurut para ulama :
a. Menurut ulama Hanafiyah[40] :
1) Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja.
2) Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
3) Jika Musaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan
upah.
b. Menurut ulama Malikiyah,[41] jika Musaqah rusak sebelum
penggarapan, upah tidak diberikan. Sebaliknya, apabila Musaqah rusak
setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan Musaqah, penggarap
berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
Di antara contoh Musaqah Fasid menurut golongan ini adalah penggarap
mensyaratkan adanya tambahan tertentu dari pemilik, seakan-akan penggarap
bekerja untuk mendapatkan upah.
Namun demikian, jika Musaqah rusak karena kemudharatan atau ada
halangan, masalah Musaqah tetap diteruskan sekedarnya.
c. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah[42] berpendapat bahwa jika buah yang keluar
setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad
dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia
telah kehilangan manfaat dari jerih payahnya dalam Musaqah.
Di antara hal-hal yang menyebabkan Musaqah rusak,
menurut golongan ini, adalah dua pihak tidak mengetahui bagiannya
masing-masing; mensyaratkan jumlah buah tertentu, mensyaratkan pemilik harus
bekerja, mensyaratkan mengerjakan sesuatu selain pohon.
Habisnya Waktu Al-Musaqah
Menurut Ulama Hanafiyah [43]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah sebagaimana dalam muzara’ah
dianggap selesai dengan adanya tiga perkara, yaitu:
a. Habis waktu yang telah disepakati kedua belah pihak yang
akad.
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh
berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerjanya di luar waktu yang
telah disepakati, ia tidak akan mendapatkan upah.
b. Meninggalnya salah seorang yang akad.
Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan Musaqah,
walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal,
penggarap meneruskan pemeliharaannya walaupun ahli waris pemilik tidak
menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak
meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris menolak, Musaqah diserahkan
kepada pemilik tanah.
c. Membatalkan, baik ucapan secara jelas atau adanya uzur.
Di antara uzur yang dapat membatalkan Musaqah :
a. Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan
mencuri buah-buahan yang akan digarapnya.
b. Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.
Menurut Ulama Malikiyah [44]
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa Musaqah akad yang dapat diwariskan.
Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan
tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang
pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh
memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh
mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah
berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa Musaqah adalah akad yang lazim
yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan
dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan di antara keduanya.
Menurut Ulama Syafi’iyah [45]
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Musaqah tidak batal dengan adanya
uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan
penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan
pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab penggarap
dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta
penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah, Musaqah selesai jika habis waktu. Jika
buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan
tetapi, jika akhir waktu Musaqah buah belum matang, penggarap berhak
atas bagiannya dan meneruskan pekerjaannya.
Musaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak
dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai
mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli waris yang mewarisinya pun
meninggal, akad menjadi batal.
Menurut Ulama Hanabilah [46]
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa Musaqah sama dengan muzara’ah,
yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian,
setiap sisi dari Musaqah dapat membatalkannya. Jika Musaqah rusak
setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap
sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian,
penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun Musaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, Musaqah dipandang tidak rusak, tetapi
dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak
boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan
upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki
tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang
dibutuhkan sehingga Musaqah sempurna.
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan
apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika pemilik membatalkan Musaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak
mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap
lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan orang lain, tetapi
tanggung-jawabnya tetap di tangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama
Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil
alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama Hanabilah
pun berpendapat bahwa Musaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu.
Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan
akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
[1] Ahmad Warson
Munawir, al-Munawir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Pustaka Progresif,
2002, hlm. 642.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus
Sunnah, Terjemahan H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah Jilid 12-13-14,
PT. Alma’arif, Bandung, 1987, hlm. 183.
[3] Wahbah
Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, Juz V, Dar Al-Fikr, Beirut,
1989, hlm. 630. Lihat Alaudin Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib
Syara’i, Jilid VI, Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, t.t., hlm. 185.
[4] Abdurrahman
Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut,
1969, hlm. 21.
[8] Rachmat
Syafe’I, Fiqh Muamalah, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 213.
[9] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 91.
[12] M. Ali Hasan, Berbagai
Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.
28
[13] Sayyid Sabiq, Loc.
Cit.
[14] Alaudin
Al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, Jilid IV, Cetakan ke-II, Dar al-Kitab
al-‘Arabi, Beirut, 1982, hlm. 282.
[15] Adip Bisri
Mustafa, Terjemahan Shahih Muslim Jilid III, Asy Syifa, Semarang, 1993,
hlm. 60.
[16] Abdullah bin
Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhori-Muslim, Buku Islam
Kaffah, 1992, hlm. 684.
[17] Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Shahih Bukhari, Terjemahan Abdul
Hayyie al-Katani dan A. Ikhwani, Ringkasan Shahih Bukhari Jilid 2,
Cetakan 1, Gema Insani Press, Jakarta, 2007, hlm. 122.
[18] Imam Muslim, Op. Cit., hlm.
774.
[20] Muhammad ibn
‘Ali ibn Muhammad Asy-Syaukânî, Nail al-Authar Syarah Muntaqa al-Akbar,
Penterjemah Mu’ammal Hamidy, dkk., Terjemahan Nailul Authar Himpunan
Hadits-hadits Hukum jilid 3, Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 23.
[21] Ibn Rusyd, Bidayah
Al-Mujtahidwa Nihayah Al-Muqtashid, Juz 1, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., hlm.
247.
[25] Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh 4 Madzhab Bagian Muamalah Jilid IV, As-Syifa, Semarang,
1994, hlm. 62.
[26] Rachmat
Syafe’I, Op. Cit., hlm. 214.
[27] Alaudin
Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i, juz VI, Syirkah Mathbu’ah,
Mesit, t.t., hlm. 186.
[28] Ibn Rusyd, Op.
Cit., hlm. 243-246.
[29] Mansur ibn
Yunus ibn Idris Al-Bahuti, Kasysyaf Al-Qina, Juz III, Dar Al-Fikr,
Beirut, 1402 H, hlm. 523.
[30] Al-Khatib
Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., hlm.
323.
[31] Rachmat
Syafe’I, Op. Cit, hlm. 214.
[32] Sayyid Sabiq, Op.
Cit, hlm. 185.
[35] Rachmat
Syafe’I, Op. Cit., hlm. 217.
[36] Alaudin
Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 187.
[37] Ibn Rusyd, Op.
Cit., hlm. 244.
[38] Al-Khatib
Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz II, hlm. 328.
[39] Ibn Rusyd, Op.
Cit., hlm. 247.
[40] Alaudin
Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 188.
[41] Ibn Rusyd, Op.
Cit., hlm. 248.
[42] Al-Khatib
Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz II, hlm. 327-336, 331.
[43] Alaudin
Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 190.
[44] Ibn Rusyd, Op.
Cit., hlm. 247.
[45] Al-Khatib
Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz V, hlm. 333.
[46] Ibid., hlm. 372 – 377