Jumat, 25 November 2011

do'a awal dan akhir tahun


DO’A AKHIR TAHUN
(DIBACA SESUDAH SHALAT ASHAR TGL 29/30 DZULHIJJAH, 3X)
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ, اَللّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِى هَذِهِ السَّنَةْ مِمَّا نَهَيْتَنِى عَنْهُ, فَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ, وَلَمْ تَرْضَهُ, وَلَمْ تَنْسَهُ, وَ حَلِمْتُ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِىْ وَ دَعَوْتَنِىْ إِلَى التَّوْبَتِيْ مِنْهُ بَعْدَ جُرْأَتِىْ عَلَى مَعْصِيَتِكَ. فَإِنِّى أَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِىْ. وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ. وَوَعَدْتَنِىْ عَلَيَّ الثَّوَابْ. فَأَسْئَلُكَ اَللّهُمَّ يَا كَرِيْم. يَاذَالْجَلَالِ وَالإِكْرَامْ. أَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّى. وَلَا تَقْطَعْ رَجَائِىْ مِنْكَ يَا كَرِيْم. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

DO’A AWAL TAHUN
(DIBACA PADA MALAM TGL. 1 MUHARROM
SESUDAH SHALAT MAGHRIB, 3X)
بسم الله الرحمن الرحيم
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ, اَللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الأوَّل. وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلْ. وَهَذَا عَامٌّ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلْ. نَسْئَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ وَجُنُوْدِهِ. وَاْلعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ. وَالْإِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِىْ إِلَيْكَ زُلْفَى. يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ. يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Senin, 21 November 2011

musaqoh


Transaksi dalam Islam: Musaqah
Pengertian Musaqah

Secara etimologi, Musaqah berasal dari kata Saqa – Saqy yang berarti As-Saqy yang artinya penyiraman atau pengairan.[1] Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama Musaqah (penyiraman = pengairan).
Musaqah menurut syara’ adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu. la merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon. Di mana pohon berada pada satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak, dengan persentase yang mereka sepakati. Misalnya: setengah, sepertiga atau lainnya.[2] Musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman atau pengairan.

Secara terminologi Musaqah didefinisikan oleh para ulama fikih : [3]

Suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi antar keduanya”.

Menurut ulama Syafi’iyah :

Mempekerjakan orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua.”

Secara terminologi, Musaqah didefinisikan oleh para ulama :
1.       Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Musaqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”. [4]
2.       Ulama Malikiyah, bahwa Musaqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”.[5] Menurut Ulama Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
a.       Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun;
b.       Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati;
c.       Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi;
d.       Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar;
e.       Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya;
3.       Menurut Ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan Musaqah ialah :
“Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”. [6]
4.       Menurut Ulama Hanabilah bahwa Musaqah itu mencakup dua masalah : [7]
a.       Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur,  kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
b.       Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.
5.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah, sama dengan muzara’ah, kecuali dalam empat perkara[8]
1.       Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam Musaqah, ia harus dipaksa, tetapi dalam muzara’ah, ia tidak boleh dipaksa.
2.       Jika waktu Musaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam muzara’ah, jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah.
3.       Waktu dalam Musaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tertentu.
4.       Jika Musaqah diminta oleh pemilik tanah sebelum panen maka penggarap mendapatkan upah. Sedangkan dalam muzara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
6.       Menurut Hasbi ash-Shiddiqi yang dimaksud dengan Musaqah adalah “syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”.[9]

Dalam pengertian menurut pendapat yang lain disebutkan Musaqah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik kebun dengan pengelola atau pemelihara, yang upah dari pemeliharaan itu adalah hasil dari kebun itu sendiri.[10] Sebagaimana juga pemaknaan Musaqah menurut Kamus Hukum Online menyatakan bahwa Musaqah adalah Suatu bentuk yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dan sebagai imbalannya si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[11]
Sejalan dengan pemaknaan dalam konteks kebahasaan tersebut, M. Ali Hasan, dalam bukunya yang berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam Islam menyatakan bahwa Musaqah adalah Akad (transaksi) antara pemilik kebun/tanaman dan pengelola (penggarap) untuk memelihara dan merawat kebun/tanaman pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah.[12]
Dari beberapa definisi yang telah disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Musaqah adalah akad (transaksi) antara pemilik kebun dan pengelola (penggarap) dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di bagi menjadi dua sesuai dengan akad yang telah disepakati, yang di mana si pengelola (penggarap) hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan, dan upah dari penyiraman dan pemeliharaan itu adalah hasil dari kebun itu sendiri (dalam bentuk barang/hasil panen, belum dijual/diuangkan).
Penggarap disebut Musaqi dan pihak yang lain disebut pemilik pohon. Yang dimaksud kata ‘pohon’ dalam masalah ini adalah semua yang ditanam agar dapat bertahan di tanah selama satu tahun ke atas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhirnya dalam pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak. Untuk pohon yang tidak berbuah imbalan untuk Musaqi adalah berbentuk pelepah dan kayu serta semacamnya.[13]


Dasar Hukum Musaqah

Dalam menentukan hukum Musaqah itu banyak perbedaan pendapat oleh para ulama fiqh. Musaqah disyari'atkan berdasarkan sunnah. Para ahli fikih sependapat bolehnya Musaqah ini melihat hal ini dibutuhkan. Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat tidak boleh, beliau mengatakan: “Bahwa akad Musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena Musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan di panen dari kebun”.[14]
Dalam masalah ini, Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah), dan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad) membolehkan Musaqah yang didasarkan pada muamalah Rasulullah saw. dengan orang Khaibar.

“Dari Ibnu Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah memperkerjakan penduduk khaibar dengan upah separuh hasil panen tanah yang digarap berupa buah atau tanaman yang dihasilkannya. (HR. Muslim) [15]

Hadits tersebut mengandung makna di antaranya adalah separuh dan memang ini yang dimaksudkannya. Dan buah-buahan bersifat umum yang mencangkup tanaman yang berakar kuat dan berumur 1 tahun ke atas termasuk kurma, anggur, dan lainnya.
Wilayah khaibar merupakan wilayah pertanian yang dihuni orang-orang Yahudi. Setelah Nabi Muhammad menaklukkannya pada tahun ketujuh setelah hijrah, membagi tanah dan tanamannya di antara para mujahidin yang berhak mendapatkan harta rampasan, sementara mereka sibuk dengan jihad fisabilillah dan berdakwah sehingga mereka tidak sempat mengurus dan menangani tanamannya, apalagi orang-orang Yahudi mempunyai keahlian tersendiri dalam bercocok tanam, maka beliau menetapkan agar penduduknya yang memang sejak awal berada di sana untuk menggarap tanah di sana dan mengairi pohon-pohonnya dan mereka menetapkan separuh dari buah-buahan dan tanamannya, sebagai imbalan atas pekerjaan dan segala pembiayaan yang mereka keluarkan, sedangkan bagi orang-orang muslim separuhnya lagi karena mereka merupakan pemilik lahan.
Kegiatan muamalah ini terus berjalan bersama Rasulullah SAW dan khalifah Abu Bakar, hingga tiba khalifah Umar bin Khattb dan mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Khaibar.[16]

Al-Bukhari meriwayatkan; bahwa orang Anshar pernah berkata kepada Rasulullah saw. :

"Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “orang-orang Anshar berkata kepada Nabi saw., “bagilah kurma kami dengan saudara-saudara kami.” Rasulullah menjawab, “tidak”, lalu orang Anshar berkata, “kalian memberi biaya perawatannya, lalu buahnya kita bagi bersama?”, orang-orang Muhajirin berkata, “kami patuh dan kami taat.”. (HR. Bukhari) [17]

Orang-orang Anshar menginginkan melakukan kerjasama dengan orang-orang Muhajirin dalam mengelola pohon kurma, lalu mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah, kemudian beliau tidak bersedia. Lalu mereka mengajukan usul, bahwa merekalah yang mengelola persoalannya, dan mereka berhak sebagian hasilnya. Lalu Rasulullah mengabulkan permohonan mereka.

Hadits shahih dari Ibnu Umar ra. yang berbunyi:
“Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw. menyerahkan kepada orang-orang Yahudi penduduk Khaibar pohon Korma dan tanah supaya mereka usahakan dengan belanja (harta) mereka sendiri, sedang Rasulullah saw. mendapatkan sebagian dari buah Korma itu ”. (HR. Muslim) [18]

Dan dalam salah satu riwayat hadits tersebut disebutkan sebagai berikut :

“Dari Ibnu Umar ra., bahwa Umar bin Khaththab pernah mengusir orang-orang yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Dan ketika Rasulullah saw. Menaklukkan Khaibar, beliau bermaksud mengusir orang Yahudi dari sana, sedangkan pada waktu ditaklukkan tanah Khaibar dibagi untuk Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin, maka beliau bermaksud mengeluarkan orang Yahudi dari sana. Kemudian orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah saw. agar beliau tidak mengusir mereka dengan syarat mereka akan menggarap tanah Khaibar. Dan mereka mendapat bagian separuh dari buahnya. Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Kami mengizinkan kamu menetap di situ dengan ketentuan demikian, selama kami mau”. Lalu mereka menetap di situ sampai mereka diusir oleh Umar dan disuruh pindah ke negeri Taima dan Ariha”. (HR. Muslim) [19]

Di dalam kitab Nailul Authar Al Hazami berkata: “Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a., Abdullah bin Mas'ud, Ammar bin Yasir, Said bin Al Musayyab, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syihab Az Zuhri dan sejumlah tokoh, di antaranya Abu Yusuf Al Qadhi dan Muhammad bin Al Hasan, mereka mengatakan, “Kerjasama dalam pertanian dan Musaqah dibolehkan, dengan imbalan buah atau tanaman”. Lebih lanjut mereka mengatakan, “boleh akad kerjasama cocok tanam dan Musaqah sekaligus. Pohon kurma disiram dan tanah ditanami, seperti yang berlangsung di Khaibar dan boleh pula akad dipisah satu-satu”.[20]


Rukun dan Syarat Musaqah

1.       Rukun Musaqah
a.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun Musaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada muzara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam muzara’ah.[21]
b.       Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidak ijab-qabul dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz.[22]
c.       Ulama Hanabilah berpendapat bahwa qabul dalam Musaqah, seperti dalam muzara’ah tidak memerlukan lafadz, cukup dengan menggarapnya.[23]
d.       Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa mensyaratkan dalam qabul dengan lafazh (ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.[24]
Mengenai rukun-rukun Musaqah menurut Ulama Syafi’iyah sebagai berikut :[25]
1)       Sighat ijab qobul yang kadang-kadang berupa terang-terangan dan kadang mendekati terang (sindiran).
2)       Dua orang yang kerjasama (aqidani) sebab perjanjian kerjasama Musaqah tak bisa berwujud kecuali dengan adanya pemilik tanah dengan penggarap yang keduanya disyaratkan agar benar-benar memiliki kelayakan kerjasama, karena kerjasama ini tidak sah dilakukan dengan orang gila, anak kecil sebagaimana yang dijelaskan di Bab Jual Beli.
3)       Ada sasaran penggarapan yaitu pohonnya, sebab kerjasama Musaqah tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pohon tersebut.
4)       Adanya pekerjaan dan pengolahan sebab kerjasama Musaqah tidak akan terwujud tanpa adanya pekerjaan yang akan dimulai dari penggarapan sampai masa panen.
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun Musaqah ada 5 (lima) [26], yaitu berikut ini :
a.       Dua orang yang akad (Al-Aqidani).
      Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama secara umum mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun Musaqah sebab Rasulullah SAW. pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang Khaibar.
b.       Objek Musaqah
Objek Musaqah menurut ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiah lainnya dibolehkan Musaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.[27]
Objek Musaqah menurut ulama Malikiyah[28] berpendapat bahwa objek Musaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti pohon yang berbuah dan yang memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
1)       Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan;
2)       Akad ditentukan dengan waktu tertentu.
Objek Musaqah menurut ulama Hanabilah[29] berpendapat bahwa Musaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
Objek Musaqah menurut ulama Syafi'iyah[30] dalam madzhab baru berpendapat bahwa Musaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasuhulah SAW. terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya.
c.       Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
d.       Shighat
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan ucapan saja.
Menurut ulama Syafi'iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad Musaqah sebab berlainan akad.
2.       Syarat Al-Musaqah
Syarat-syarat Musaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam muzara’ah. Hanya saja, pada Musaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun. serta ketetapan waktu.
Beberapa syarat yang ada dalam Musaqah adalah: [31]
a.       Ahli dalam akad
b.       Menjelaskan bagian penggarap
c.       Membebaskan pemilik dari pohon
d.       Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad.
e.       Sampai batas akbir, yakni menyeluruh sampai akhir.
            
 Di dalam melakukan Musaqah disyaratkan terpenuhinya hal-hal sebagai berikut: [32]
a.       Bahwa  pohon  yang  di-Musaqah-kan  diketahui dengan jalan melihat, atau memperkenalkan sifat-sifat yang tidak bertentangan dengan kenyataan pohonnya. Karena akad dinyatakan tidak sah, untuk sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas.
b.       Bahwa masa yang diperlukan itu diketahui dengan jelas. Karena Musaqah adalah akad lazim yang menyerupai akad sewa-menyewa. Dengan kejelasan ini akan tidak ada unsur gharar.
c.       Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa menjelaskan masa lamanya, bukanlah merupakan syarat dalam Musaqah, tetapi sunnah, yang berpendapat tidak diperlukannya syarat ini adalah Zahiriyah.[33]
d.       Menurut mazhab Hanafi bahwa manakala masa Musaqah telah berakhir sebelum masaknya buah, pohon wajib ditinggalkan/dibiarkan ada di tangan penggarap, agar ia terus menggarap (tetapi) tanpa imbalan, sampai pohon itu berbuah masak.[34]
e.       Bahwa 'akad itu dilangsungkan sebelum nampak baiknya buah/hasil. Karena dalam keadaan seperti ini, pohon memerlukan penggarapan. Adapun sesudah kelihatan hasilnya, menurut sebagian Ahli Fiqih adalah bahwa Musaqah tidak dibolehkan. Karena tidak lagj membutuhkan hal itu, kalaupun tetap dilangsungkan namanya ijarah (sewa-menyewa), bukan lagi Musaqah. Namun, ada pula yang membolehkannya sekalipun dalam keadaan seperti ini. Sebab jika hal itu boleh berlangsung sebelum Allah menciptakan buah, masa sesudah itu tentu lebih utama.
f.         Bahwa imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah itu diketahui dengan jelas. Misalnya separuh atau sepertiga. Kalau dalam perjanjian ini disyarat­kan untuk si penggarap atau si pemilik pohon mengambil hasil dari pohon-pohon tertentu saja, atau kadar tertentu, maka Musaqah tidak sah.
Apabila satu syarat dan syarat-syarat ini tidak terpenuhi, akad dinyatakan fasakh dan Musaqah menjadi fasad [35].


Kebolehan Bagi Hasil Al-Musaqah

Para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal yang diperbolehkan dimusaqahkan. Sebagian mereka ada yang membatasi pada kurma saja, seperti Daud. Sebagian lagi ada yang menambah, yaitu kurma dan anggur, seperti pendapat Asy-Syafi’i. Sebagian lagi ada yang berpendapat lebih luas lagi, seperti mahdzab Hanafi. Menurut mereka boleh berlaku untuk pohon krum dan baqul dan semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dan untuk mencabutnya tidak ada batas sehingga merusak tanah disekitarnya, setiap kali dipangkas ia tumbuh, seperti karats dan tebu Persia.
Apabila masa waktunya tidak dijelaskan, akad jatuh untuk awal bagian yang diperoleh sesudah akad, dan sah pula untuk yang buahnya bertahapan dan muncul sedikit demi sedikit, seperti terong.
Kalaulah seseorang menyerahkan pohon yang sudah dipangkas untuk diurus penggarapannya dan penyiramannya sampai pohon itu merintis daunnya (menghasilkan), dan hasilnya dibagi dua, maka hal itu boleh tanpa menjelaskan soal panjangnya masa.
Menurut Imam Malik, Musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang mempunyai akar tetap (kuat) seperti: Delima, Tin, Zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu, dan boleh juga untuk pohon yang berakar tidak kuat seperti Semangka, dalam keadaan pemiliknya tidak lagi mampu menggarapnya. Demikian pula dengan tumbuhan.
Menurut madzhab Hambali, Musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Di dalam kitab Al-Mughni, ia berkata: “Musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan, dan diperbolehkan untuk yang memerlukan siraman”.

Dari beberapa pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan mengenai jenis tanaman yang diperbolehkan untuk dijadikan objek musaqah yaitu jenis tanaman jangka panjang, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Berupa tanaman keras (batangnya), akarnya tetap (kuat).
2.     Berbuah/menghasilkan buah setiap tahun, contohnya seperti Durian, Kelapa, Kakau, Kurma, dan lain-lain.
3.      Dari mulai ditanam sampai siap berbuah memerlukan waktu di atas 1 (satu) tahun.

Sedangkan jenis tanaman yang tidak dapat dijadikan objek Musaqah adalah jenis tanaman jangka pendek dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Berupa tanaman tidak keras.
2.      Berbuah/menghasilkan buah hanya sekali panen lalu mati atau berbuah tetapi tidak produktif lagi (ada yang berbuah ada yang tidak), contohnya seperti Semangka, Melon, Cabai, Jagung, dan lain-lain.
3.      Dari mulai ditanam sampai siap berbuah memerlukan waktu di bawah 1 (satu) tahun.


Sah dan Rusaknya Al-Musaqah

1.       Sahnya Musaqah (Musaqah Sahih)
Sahnya Musaqah menurut para ulama memiliki beberapa hukum atau ketetapan.
a.       Menurut ulama Hanafiyah,[36] hukum Musaqah Sahih adalah berikut ini :
1)       Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
2)       Hasil dari Musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
3)       Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
4)       Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
5)       Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada uzur.
6)       Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati.
7)       Penggarap tidak memberikan Musaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
b.       Ulama Malikiyah[37] pada umumnya menyepakati hukum-hukum yang ditetapkan ulama Hanafiyah. Namun demikian, mereka berpendapat dalam penggarapan :
1)       Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan.
2)       Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
3)       Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
c.       Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap tersebut, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.[38]
2.       Rusaknya Musaqah (Musaqah Fasid)
Musaqah Fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’. Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan Musaqah Fasid menurut ulama Hanafiyah,[39] antara lain :
a.       Mensyaratkan hasil Musaqah bagi salah seorang dari yang akad.
b.       Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c.       Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d.    Mensyaratkan dalam pemetikan dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.
e.       Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
f.         Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
g.       Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h.       Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
Dampak Musaqah Fasid menurut para ulama :
a.       Menurut ulama Hanafiyah[40] :
1)       Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja.
2)       Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
3)       Jika Musaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah.
b.       Menurut ulama Malikiyah,[41] jika Musaqah rusak sebelum penggarapan, upah tidak diberikan. Sebaliknya, apabila Musaqah rusak setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan Musaqah, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
Di antara contoh Musaqah Fasid menurut golongan ini adalah penggarap mensyaratkan adanya tambahan tertentu dari pemilik, seakan-akan penggarap bekerja untuk mendapatkan upah.
Namun demikian, jika Musaqah rusak karena kemudharatan atau ada halangan, masalah Musaqah tetap diteruskan sekedarnya.
c.     Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah[42] berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan manfaat dari jerih payahnya dalam Musaqah.
Di antara hal-hal yang menyebabkan Musaqah rusak, menurut golongan ini, adalah dua pihak tidak mengetahui bagiannya masing-masing; mensyaratkan jumlah buah tertentu, mensyaratkan pemilik harus bekerja, mensyaratkan mengerjakan sesuatu selain pohon.


Habisnya Waktu Al-Musaqah

Menurut Ulama Hanafiyah [43]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah sebagaimana dalam muzara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara, yaitu:
a.       Habis waktu yang telah disepakati kedua belah pihak yang akad.
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerjanya di luar waktu yang telah disepakati, ia tidak akan mendapatkan upah.
b.       Meninggalnya salah seorang yang akad.
Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan Musaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaannya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris menolak, Musaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
c.       Membatalkan, baik ucapan secara jelas atau adanya uzur.
Di antara uzur yang dapat membatalkan Musaqah :
a.       Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang akan digarapnya.
b.       Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.

Menurut Ulama Malikiyah [44]
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa Musaqah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa Musaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan di antara keduanya.

Menurut Ulama Syafi’iyah [45]
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Musaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah, Musaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu Musaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaannya.
Musaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad menjadi batal.

Menurut Ulama Hanabilah [46]
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa Musaqah sama dengan muzara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari Musaqah dapat membatalkannya. Jika Musaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun Musaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, Musaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga Musaqah sempurna.
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika pemilik membatalkan Musaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan orang lain, tetapi tanggung-jawabnya tetap di tangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama Hanabilah pun berpendapat bahwa Musaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.


[1] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, 2002, hlm. 642.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Terjemahan H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah Jilid 12-13-14, PT. Alma’arif, Bandung, 1987, hlm. 183.
[3] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, Juz V, Dar Al-Fikr, Beirut, 1989, hlm. 630. Lihat Alaudin Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i, Jilid VI, Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir, t.t., hlm. 185.
[4] Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut, 1969, hlm. 21.
[5] Ibid., hlm. 21.
[6] Ibid., hlm. 28.
[7] Ibid., hlm. 31.
[8] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 213.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 91.
            [10] Ibid., hlm. 91.
            [11] http://www.kamushukum.com, di akses pada tanggal 31 Maret 2009.
            [12] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 28
[13] Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
[14] Alaudin Al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, Jilid IV, Cetakan ke-II, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, 1982, hlm. 282.
[15] Adip Bisri Mustafa, Terjemahan Shahih Muslim Jilid III, Asy Syifa, Semarang, 1993, hlm. 60.
[16] Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhori-Muslim, Buku Islam Kaffah, 1992, hlm. 684.
            [17] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Shahih Bukhari, Terjemahan Abdul Hayyie al-Katani dan A. Ikhwani, Ringkasan Shahih Bukhari Jilid 2,  Cetakan 1, Gema Insani Press, Jakarta, 2007, hlm. 122.
   [18] Imam Muslim, Op. Cit., hlm. 774.
            [19] Ibid., hlm. 775.
[20] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad Asy-Syaukânî, Nail al-Authar Syarah Muntaqa al-Akbar, Penterjemah Mu’ammal Hamidy, dkk., Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-hadits Hukum jilid 3, Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 23.
[21] Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahidwa Nihayah Al-Muqtashid, Juz 1, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., hlm. 247.
[22] Ibid., hlm. 247.
[23] Ibid., hlm. 247.
[24] Ibid., hlm. 247.
[25] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh 4 Madzhab Bagian Muamalah Jilid IV, As-Syifa, Semarang, 1994, hlm. 62.
[26] Rachmat Syafe’I, Op. Cit., hlm. 214.
[27] Alaudin Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i, juz VI, Syirkah Mathbu’ah, Mesit, t.t., hlm. 186.
[28] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 243-246.
[29] Mansur ibn Yunus ibn Idris Al-Bahuti, Kasysyaf Al-Qina, Juz III, Dar Al-Fikr, Beirut, 1402 H, hlm. 523.
[30] Al-Khatib Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., hlm. 323.
[31] Rachmat Syafe’I, Op. Cit, hlm. 214.
[32] Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 185.
[33] Ibid., hlm. 185.
[34] Ibid., hlm. 185.
[35] Rachmat Syafe’I, Op. Cit., hlm. 217.
[36] Alaudin Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 187.
[37] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 244.
[38] Al-Khatib Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz II, hlm. 328.
[39] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 247.
[40] Alaudin Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 188.
[41] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 248.
[42] Al-Khatib Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz II, hlm. 327-336, 331.
[43] Alaudin Al-Kasyani, Op. Cit., hlm. 190.
[44] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 247.
[45] Al-Khatib Asy-Syarbini, Op. Cit., Juz V, hlm. 333.
[46] Ibid., hlm. 372 – 377