Sabtu, 09 Juli 2011

metode tafsir tahlili beserta keunggulan, kelemahannya

A.    Pengertian Tafsir
         Tafsir berasal dari akar kata al-fasr (ف- س- ر) yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.  Dalam lisan al-’Arab dinyatakan  al-fasr (الفسر)secara leksikal berarti menyingkap sesuatu yang tertutup,  sedangkan kata  al-tafsir ( التفسير ) berarti menyingkap maksud suatu lafaz yang musykil atau pelik.[1] Di antara kedua bentuk itu,  al-fasr dan al-tafsir,  kata al-tafsir (tafsir)lah yang paling banyak dipergunakan.
         Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan atau keterangan,[2] seperti yang bisa dipahami dari Quran S. Al-Furqan: ayat 33 sebagaimana berikut:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ  
Artinya; Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
      Sedangkan menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab allah yang diturnkan kepada nabi Muhammad SAW. Berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud allah sesuai dengan kemampuan manusia. Secara lebih sederhana, tafsir dinyatakan sebagai penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh suatu kata.
         Adapun pengertian tafsir secara terminologi ditemukan bahwa  para ulama berbeda-beda secara redaksional dalam mengemukakan definisinya meskipun esensinya sama.
         Al-Jurjani  misalnya mengetengahkan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai segi, baik konteks historisnya maupun sebab turunnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Kemudian Imam al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah menurut kadar kemampuan manusia.
Selanjutnya, al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu untuk mengetahui dan memahami kandungan al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.[3]
         Dari beberapa definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa tafsir adalah upaya mengungkapkan dan menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an sesuai kadar kemampuan masing-masing yang sifatnya terbatas, sehingga dapat dijumpai pelajaran, hukum, dan hikmah yang terkandung di dalam kitab suci tersebut.
         Selain kata-kata tersebut diatas, terdapat kata lain yang searti dengan kata “التفسير” yaitu kata ”الشرح” (penjelasan/komentar). Sebagian ulama, diantaranya Shubhî al-Shâlih, menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai ”شارح الكتاب” (penyarah al-Qur’an), ketika  menyatakan bahwa tafsir al-Qur’an telah tumbuh sejak masa awal kenabian, dan Beliau adalah orang yang pertama yang memberikan syarah untuk kitab Allah SWT.[4]

B.     Metode Tafsir Tahlili
                        Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa metode tafsir ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan dibagi menjadi 3 yakni: Maudu’I, Nuzuli dan tahlili. Dan pembahasan dalam pembahasan makalah ini adalah tentang metode tafsir tahlili.
Penafsiran Alquran dengan metode tahlili berarti penafsiran ayat-ayat
Alquran dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat- ayat yang ditafsirkan, disertai penerangan makna-makna yang tercakup di dalamnya. Penerangan makna-makna tersebut bersesuaian dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkannya. Dalam praktek, mufasir biasanya menguraikan makna ayat demi ayat; surat demi surat sesuai dengan urutan yang terdapat di dalam mushaf Utsmani.
Muhammad Baqir as-Shadr menyebut tafsir metode tahlili dengan tafsir tajzi’ie yang secara harfiah berarti tafsir yang penguraiannya berdasarkan bagian- bagian (parsial). [5]
                        Sebagaimana kita ketahui bahwa metode tafsir Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelasakan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an yang tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10) atau suatu metode penafsiran al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut (al-Farmawi, 1977:24).
                        Dalam metode ini, segala sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili diuraikan, baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat per-ayat, surat per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat yang satu dengan yang lain, Asbab al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dan lain-lain.
                        Dan dapat disimpulkan bahwa metode tafsir tahlili yaitu menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al fatihah hingga akhir surat an Naas.



C. Ciri-Ciri Metode Tafsir Tahili
Untuk mengetahui ciri-ciri tafsir metode tahlili secara lengkap salah satu caranya adalah dengan memerhatikan kitab-kitab tafsir tahlili, baik yang berbentuk ma’tsur maupun ra’y.
Kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur di antaranya:
ü  Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an (Ibn Jarir al-Thabari)
ü  Ma’alim al- Tanzil(al -Baghawi)
ü  Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Ibn Katsir)
ü  Al-Durr al- Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur (as-Suyuthi)
Adapun kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y di antaranya:
ü  Tafsir al-Khazin (al-Khazin)
ü  Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil(al -Baidhawy)
ü  al-Kasysyaf(al-Zamakhsyari)
ü  Tafsir al-Manar (Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha).[6]
Dari beberapa kitab tersebut, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri tafsir
metode tahlili di antaranya:
1.      Mengemukakan korelasi (munasabah) antara ayat maupun antar surat
(sebelum maupun sesudahnya)
2.      Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.
3.      Menganalisis mufradat dan lafadz dengan sudut pandang linguistik.
4.      Memaparkan kandungan ayat beserta maksudnya secara umum.
5.      Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat yang ditafsirkan, baik
yang berkaitan dengan hukum fiqh, tauhid, akhlak, atau hal lain.
Dengan demikian, tampak bahwa penafsiran Alquran metode tahlili merupakan merupakan penafsiran yang bersifat luas dan menyeluruh (komprehensif). Dan juga dapat dimengerti, bahwa ciri yang paling inti dari tafsir metode tahlili bukan pada penafsiran Alquran dari awal mushaf sampai akhir, melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya.
                        Adapun ringkasan ciri-ciri dari metode penafsiran tahlili adalah:
Penafsiran yang mengikuti metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur (riwayat) atau ra`yi (pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan Asbab An-Nuzul dari ayat-ayat yg ditafsirkan. Kemudian diungkapkan pula penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabi’in, Tabi Tabi^in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqih, bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Ciri lain dari metode ini, penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya sepert fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai, dan lain-lain.

D. Keunggulan dan kekurangan Tafsir Tahlili
                  Sebagaimana metode-metode yang ada lainnya, metode tahlili tidak lepas
dari kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari tafsir metode tahlili di antaranya:
1.       Mempunyai ruang lingkup yang luas
Sebagaimana telah disebutkan di muka, tafsir metode tahlili memungkinkan mufasir membawanya ke dalam dua bentuk:ma ’tsu r dan ra’y.Bentuk ra’y sendiri masih dapat dikembangkan menjadi berbagai
corak penafsiran sesuai dengan keahlian dan kecederungan (kejiwaan) mufasirnya. Dengan keluasan ruang lingkupnya, metodeta h lili dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya penafsiran Alquran.
2.   Memuat berbagai ide dan gagasan
Karena keluasan ruang lingkupnya, mufasir pun relatif mempunyai kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru. Sehingga dapat dipastikan, pesatnya perkembangan tafsir metodeta h lil i disebabkan oleh kebebasan tersebut.
Selain mempunyai kelebihan, metode tahlili tidak luput dari kekurangan.
Adapun kekurangan dari metode tahlili di antaranya:
1.    Menyebabkan petunjuk Alquran (tampak) parsial
Metode tahlili memungkin mufasir memberi penafsiran yang berbeda pada satu ayat dengan ayat lain yang serupa. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap ayat-ayat atau lafadz-lafadz yang serupa. Bisa disebut, dalam metode tahlili, terdapat unsur ketidak konsistenan mufasir. Meski demikian, ketidaksonsistenan ini merupakan konsekuensi logis dari penafsiran metode tahlli, karena dalam metode ini, mufasir tidak dibebani keharusan untuk mengomparasikan ayat dengan ayat.
2. Melahirkan penafsiran subjektif
Keluasan ruang lingkup metode tahlili, selain merupakan kelebihan, juga merupakan akar dari keterpelesetan mufasir pada penafsiran Alquran secara subjektif. Entah disadari atau tidak oleh mufasir, terbukanya pintu penafsiran yang lebar pada metode ini terkadang membuat mufasir menafsirkan Alquran berdasarkan hawa nafsu dengan mengesampingkan kaidah-kaidah yang berlaku. Akibatnya, penafsiran menjadi kurang tepat, sehingga maksud ayat pun menjadi berubah.
Sikap subjektif pada penafsiran metode tahlili mencapai dominasinya terutama pada bentuk tafsir ra’y. Sehingga penafsiran bukan lagi sekadar berubah dan kurang tepat, bahkan jauh menyimpang dari maksud ayat. Umumnya, sikap subjektif tersebut berangkat dari fanatisme terhadap madzhab secara berlebihan.
Kuatnya dominasi penafsiran subjektif, tidak lain juga merupakan konsekuensi logis dari metodeta h lili, karena dalam metode ini, sikap subjektif mendapat tempat lebih luas dibanding pada metode penafsiran yang lain. Kondisi demikian akhirnya membuat metode ini dirasa kurang representatif dari sudut pandang objektivitas dan signifikansi keilmuan.
3. Membuka pintu masuk pemikiran Israiliyyat
Masuknya orang-orang Yahudi ke dalam lingkungan Islam, memiliki andil besar tersebar luasnyaIsra iliy y at.[7]  beserta pengaruhnya di kalangan umat Islam, tidak terkecuali di kalangan mufasir. Kaitannya dengan tafsir metode tahlili, keluasan ruang lingkup metode tahlili berimbas pada keleluasaan mufasir dalam mengajukan ide, gagasan, dan pemikiran. Termasuk juga pemikiran Israiliyyat.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan Israiliyyat sepanjang keberadaannya tidak dikaitkan dengan upaya pemahaman Alquran (penafsiran). Tapi bila terjalin hubungan antara Israiliyyat dengan penafsiran Alquran, terbentuklah opini tunggal: kisah Israiliiyat tersebut merupakan petunjuk Allah. Padahal, belum tentu ada kecocokan antara kisah Israiliyyat tersebut dengan maksud Allah.
Perlu diketahui bahwa Secara etimologi, Israiliyyat berasal dari kata Israil yang merupakan kata nisbah kepada bani Israil. Israil berasal dari bahasa Ibrani yang berarti hamba Allah. Secara terminologi, Israiliyyat merupakan budaya Yahudi yang bersumber dari Taurat, abur, Asfar Musawiyah, dan Talmud, termasuk seluruh keterangannya yang berisi dongeng dan khurafat yang dikembangkan oleh Yahudi dari masa ke masa.[8]

E. Urgensi Metode Tahlili
Meskipun mengandung kekurangan dan mengundang kedatangan sisi negatif, keberedaan metode tahlili harus diakui bahwa metode tafsir tahlili ini telah memberikan sumbangan besar bagi pelestarian dan pengembangan khazanah intelektual Islam, khususnya di bidang tafsir Alquran. Berdasarkan fakta yang ada, metode ini telah melahirkan karya-karya besar dan monumental. Sehingga, urgensitas metode ini harus diakui. Hanya saja, perlu untuk diketahui di mana letak dari urgensi metode ini.
Dikarena metode tahlili menjelaskan kandungan Alquran dari berbagai segi, maka dapat dikatakan, metode tahlili lebih dapat diandalkan jika tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang luas (pemahaman dalam berbagai aspek) terhadap kandungan Alquran. Dengan kata lain, urgensi metodeta h lili terletak pada keberadaannya yang mampu memberi pemahaman lebih luas (berbagai aspek) dibanding dengan metode tafsir yang lain.




[1] Mahmud Basuni Fauzah, al-Tafsir wa Munahijuh, diterjemahkan oleh H.M. Moctar Zoerni dan abdul Qadir Hamid dengan judul Tafsir-Tafsir al-Qur’an  : Perkenalan dengan metodologi Tafsir (Cet. I ; Bandung : Pustaka, 1987), h.1
[2] Ibrahim Anis. al-Mu’jam al-Wasi¯, Juz II (Cet.II; Kairo :  tp, 1972), h. 688.
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 162.
[4] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu… hlm. 16-17
[5] Salahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, Hal. 325.
[6] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Hal. 32.
[7] Salahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, Hal. 350.

[8] Salahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, Hal. 350

Tidak ada komentar:

Posting Komentar