Senin, 21 November 2011

hiwalah;fiqh

HIWALAH

1.        Pengertian
Kata Hawalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.[1]
Sedangkan hiwalah (ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ) menurut etimologi ialah al-intiqal dan al-tahwil yaitu pengalihan, pemindahan (pengoperkan) , berubah kulit dan memikul sesuatu diatas pundah. Maka Abdurrahman al-jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa adalah:
النقل من محل الى محل
Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran maupun tidak.
Ulama mazhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan Hiwalah ialah pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhiil =  ﺍﻟﻣﺤﻴﻞ ) kepada yang berhutang lainnya (muhaal alaih=  ﺍﻟﻣﺤﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ).
Ulama mazhab Hanafi lainya (Kamal bin Humman) mendefinisikanya dengan : ”Pengalihan kewajiban membayarkan hutang dari pihak pertama kepada pihak lainya yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai”.
Dalam konsep hukum perdata, hiwalah adalah serupa dengan lembaga pengambil alihan hutang, atau lembaga pelepasan hutang atau penjualan hutang, atau lembaga penggantian kreditur atau penggantian debitur.
Dan dapat disimpulkan bahwa hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya atau suatu perpindahan hutang dari seseorang kepada orang kedua karena orang kedua ini mempunyai hutang kepada orang pertama. Contoh, Ali mempunyai hutang kepada Abbas sebesar Rp. 3.000 dan Salim mempunyai hurang kepada Ali sebesar Rp. 3.000. Kemudian Ali memindahkan hutangnya kepada Salim dengan persetujuan Abbas. Dengan demikian Ali sudah tidak mempunyai hutang lagi kepada Abbas karena sudah dilimpahkan kepada Salim.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
"Memperpanjang pembayaran hutang bagi orang yang mampu termasuk aniaya, maka apabila salah seorang di antara kamu memindahkan hutangnya kepada yang lain hendaklah diterima perpindahan itu asalkan orang yang menerima perpindahan itu sanggup membayarnya." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi).
Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain.
Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).

2.        Dasar Hukum Hiwalah
Islam membenarkan hiwalah dan membolehkannya karena ia diperlukan sedangkan asal di syariatkan hiwalah, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim dari abu hurairah : sesungguhnya rasulullah SAW. bersabda :
مطل الغني ظلم فاذا أحىل أحدكم علي ملىء فليحتل... (رواه احمد و البيهقى)
“Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang  diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asalkan yang lain itu mampu membayar.” (HR. Ahmad dan Baihaqi).[2]
Pada hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang di-hiwalah-kan (muhal ‘alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).

3.        Hukum Menerima Hiwalah
Hukum hiwalah adalah mubah/boleh sepanjang tidak merugikan salah satu pihak dan tidak ada unsur penipuan.
Namun, barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu.
Nabi saw bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5876).[3]

4.        Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan Kabul yang dilakukan antara yang menghiwalah dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah :[4]
ü Orang yang memindahkan utang (muhilf) adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
ü Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tak berakal.
ü Orang yang dihiwalahkan (mahal ‘alaih) juga harus orang beraklal dan disyaratkan pula dia meridhainya.
ü Adanya utang muhil kepada muhal alaih.
Untuk sahnya hiwalah menurut jumhur ulama’ disyaratkan hal-hal berikut:
v  pertama, relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal ‘alaih berdasarkan dalil kepada hadis di atas. Rasulullah SAW telah menyebutkan kedua belah pihak, karenanya muhil yang berhutang berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya.
v  Kedua, samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah-kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.
v  Ketiga, stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai yang gajinya belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah. Keempat, kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi kembali kepada muhil. Demikianlah menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.
Menurut syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada 4, sebagai berikut :[5]
ü Muhil, yaitu orang yang menghiwalah atau orang yang memindahkan hutang.
ü Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang mempunyai hutang kepada muhil.
ü Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
ü Shighat hiwalah, ijab dari muhil dengan kata-katanya : “aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada dia “ dan kabul dari mutal dengan kata-katanya : “aku terima hiwalahnya engkau”

5.        Beban Muhil setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungjawab muhil gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan, membatah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut Madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal alaih orang faqir yang tidak mempunyai sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.[6]

6.        Macam-macam Hiwalah
Mazhab Hanafiyah membagi Hiwalah kepada 2 macam, yaitu:
  1. Al-Hiwalah al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat)
yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang dari pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh: Samkhun berpiutang kepada Isman sebesar satu juta rupiah, sedangkan Isman juga berpiutang pada Fahmi satu juta rupiah. Isman kemudian memindahkan haknya untuk menagih piutangnya yang terdapat pada Fahmi, kepada Samkhun.
Contoh :
 
Keterangan: A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham. Sedangkan B berpiutang kepada C sebesar 5 dirham. B kemudian memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti pembayaran hutang B kepada A.
Dengan demikian hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pemindahan hak). Sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakan hiwalah al-dain karena B mengalihkan kepada A menjadi kewajiban C kepada A (pemindahan hutang/kewajiban).
b.   Al-Hiwalah al-Muthlaqah (Pemindahan Mutlak)
yaitu pemindahan yang tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh: Isman berutang kepada Samkhun sebesar satu juta rupiah. Karena Fahmi juga berhutang kepada Isman sebesar satu rupiah. Isman mengalihkan utangnya kepada Fahmi sehingga Fahmi berkewajiban membayar utang Isman kepada Samkhun, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu sebagai ganti utang Fahmi kepada Isman.
Contoh :
Keterangan; A berhutang kepada B sebesar 5 dirham. Kemudian A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A.
Dengan demikian, hiwalah al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah al-dain saja karena yang dipindahkan hanya hutang A kepada B menjadi hutang C kepada B.

7.        Berakhirnya Hiwalah
Apabila kontrak  hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.


8.        Fatwa MUI tentang Hiwalah
Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah disebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

9.        Aplikasi Hiwalah dalam Institusi Keuangan
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
Dengan melihat berbagai transaksi modern saat ini yang menggunakan akad Hiwalah, ditemukan bahwa telah terjadi perubahan model dalam proses akad Hiwalah. Dimana pada model klasik berdasarkan definisi, Muhil menjadi hilang tanggung jawab hutangnya karena muhal ’alaih yang meneruskan hutang muhil kepada Muhal karena Muhal ’alaih telah memiliki hutang kepada muhil sebelumnya.
Namun dalam model modern saat ini, Muhil masih bertanggungjawab terhadap hutangnya. Hanya pihak piutangnya saja yang berpindah dari muhal ke muhal ’alaih. Dengan membandingkan Gambar 3 dan Gambar 1, kita bisa melihat perbedaanya.
Kemudian contoh yang lain adalah dalam praktek Credit Card, istilah yang pas (sesuai) adalah hiwalah haqq, karena terjadi perpindahan menuntut tagihan (piutang) dari  nasabah kepada bank oleh merchant. Contoh ini dikatahan sah dari segi sighat dikarenakan salah satu dari tiga pihak tidak mengetahui adanya akad hiwalah.
Dan implementasi hiwalah dalam dunia modern saat ini atas dalih:
a.    Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk
membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan usahanya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan hutang.
b.    Untuk mengantisipasi kerugian yang akan timbul bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan hutang dengan yang berhutang.
c.    Karena kebutuhan supplier akan di likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengalih piutang. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
Adapun hiwalah banyak sekali manfaat dan keuntungan diantaranya:
a. Memungkinkan penyelesaian hutang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b.Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c. Dapat menjadi salah satu fee-based income sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah.
Adapun risiko yang harus diwaspadai dari kontrak hiwalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan member invoice palsu (ingkar janji) atau wanprestasi, untuk memenuhi kewajiban hiwalah ke bank.


KESIMPULAN
Hiwalah adalah Memindahkan hutang dari tanggungan Muhil menjadi tanggungan Muhal alaih( orang yang berhutang lainnya), sedangkan jumhur ulama mendefinisikan dengan: Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggungjawab orang yang lainnya.
Akad hiwalah telah dapat diterapkan dalam Institusi Keuangan Islam di Indonesia. Fatwa untuk akad ini telah dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia NO: 12/DSN-MUI/IV/2000. Hal ini akan mendukung perkembangan produk-produk keuangan Islam dengan akad Hiwalah, yang mana akan mendukung pula perkembangan perbankan dan investasi Syariah di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazairi ,Abdul al-Rahman, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah,Beirut : Dar Qalam,1969
Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Hawalah, No.12 /DSN-MUI/IV/2000, Majelis Ulama Indonesia
Idris, Ahmad, Fiqh as-Syafi’iyyah, Jakarta : Karya Indah, 1986
Karim Adiwarman A. Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. RajaGrafindo Persada. 2006
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam,Bandung :Sinar Baru Algensindo,2008,Cet.41





[1]  http://www.scribd.com/doc/10107490/Hiwalah-Rhesa-Yogaswara
[2] Daib al-Bagdhda,Matan Ghoyah Wat taqrib, terj. Fuad Kauma, Semarang : CV. Toha Putra,1993,hal.259
[3] Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 704.
[4] Abdul al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah,Beirut : Dar Qalam,1969,hal.212-213
[5] Ahmad Idris, Fiqh al-Safi’iyah,Jakarta : Karya Indah,1986,hal.57-58.
[6] Hendi Suhendi, hal. 103. Lihat juga, Sayyid Sabiq, fiqh al-sunnah hal. 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar